Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Sakit Hati, Aku Tidak Percaya Pria Lagi?

Cerita Pendek Sakit  Hati Sista Terpilu 




"Apa katamu. Putus?" Aku berkata dengan air mata berlinang dan tubuh bergetar.

"Maafkan aku Rena, aku gak bisa melawan orang tuaku." Ronal memegang bahuku.

"Mana, janjimu yang akan terus memperjuangkanku, apa itu cuma omong kosong." Aku berucap sinis sambil menepis tangannya kasar.

Ronal hanya terdiam dan membisu.

Memang hubungan kami tak direstui, tetapi aku yakin dengan berjuang pasti mereka akan luluh. Namun, belum juga membuktikannya, lelaki itu sudah menyerah duluan.

Dasar lelaki pengecut!

Padahal hubungan kami sudah berlangsung selama 3tahun, cuma gara-gara orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami, Ronal menyerah begitu saja.

Bukannya aku menganggap sepele restu dari orang tua, tetapi selagi masih bisa diperjuangim, kenapa harus nyerah.

Hatiku hancur berkeping-keping, begitu tega dia memutuskan hubungan kami secara sepihak. Padahal aku sangat mencintainya, aku rela melakukan apapun demi dirinya, tetapi sekarang apa yang aku terima? Begitu tega Ia mematahkan hatiku.

Beberapa hari aku mengurung diri di kamar, makan tak enak, tidur tak nyenyak. Sekarang hidupku tidak berarti lagi, orang yang sangat aku cintai pergi.

Buliran bening terus menetes membasahi pipi, aku meringkuk di kasur dengan keadaan yang memilukan. Kini duniaku hancur.

Kenangan bersamanya selalu terbayang, sungguh sulit untuk melupakannya.

Tok ... tok

Entah berapa kali Mama mengetuk pintu, aku mengabaikannya, aku hanya butuh waktu sendiri.

"Sayang, buka pintunya. Nak."

"Makan dulu yuk, dari kemarin kamu belum makan, nanti kamu sakit loh!"

Aku terlalu marah pada lelaki itu, hingga aku mengurung diriku sendiri.


****

Rambut panjang yang tergerai adalah mahkota yang selalu di kagumi semua laki-laki termasuk Ronal, kini aku putuskan untuk memotongnya. Memotong rambutku dengan asal-asalan, hingga rambutku hanya tersisa sebagian. Tidak peduli aku disebut jelek atau apapun itu.

Saat aku keluar kamar, keluargaku tercengang melihat penampilan baruku.

"Apa yang terjadi, sama kamu. Sayang?" Mama menghampiriku sambil mengelus punggungku dengan lembut.

"Kok, rambut Kaka, jadi pendek," celetuk ade bungsuku.

Suaraku rasanya tercekat ditenggorokan, aku tak mampu menjawab pertanyaan Mama dan adeku.

Perlahan aku bisa melupakan Ronal. Namun, rasa benci sudah tertanam di hati. Hingga aku membenci yang namanya laki-laki.

Aku merapikan rambutku di salon, mengubah penampilan persis laki-laki, rambut cepak yang di beri gaya mohek kanan kiri, memakai baju kemeja yang tangannya sengaja aku gulung sedikit, ditambah bawahan celana jeans. Aku sukses merubah penampilanku yang tadinya peminim menjadi tomboy.

Mempunyai mata lentik, hidung bangir dan bibir mungil, tak jarang orang menyebutku mirip artis Korea.

Aku merubah penampilan, karena aku trauma dengan yang namanya lelaki.

Butuh waktu lama untukku melupakan Ronal, bahkan aku sampai pergi merantau agar aku tidak mengingat kenangan bebersamanya.

Nety teman yang mengajaku ke kota untuk bekerja.

Karena penampilan. majikanku mengira aku laki-laki, maka dari itu aku ditempatkan sebagai sopir pribadi. Untungnya aku dulu sudah pernah kursus. Jadi, aku tinggal menyetujui persyaratannya.

Aku sangat beruntung mendapatkan pekerjaan ini, kerjaanku hanya mengantar anak sekolah dan sesekali mengantar majikanku jika bepergian. Pekerjaannya lumayan ringan makannya aku betah kerja disini, sesekali aku dan Nety juga bisa jalan-jalan.

Gajiku lumayan besar bisa untuk kirim keluarga di kampung dan mencukupi kebutuhanku. Namun, setelah aku kenal Dinda, uangku terkuras habis.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Dinda, hatiku bergetar saat melihatnya. Entah kenapa aku jatuh cinta pada perempuan, bahkan apa yang Dinda mau aku turuti.

Waktu itu aku dan Nety baru turun dari bus, menunggu jemputan, suasana sangat sepi, didekat aku dan Nety ada perempuan cantik yang sedang berdiri sendirian tiba-tiba ada 2 preman yang menghampiri, kedua preman itu terlihat menggoda gadis berseragam abu-abu itu.

"Hay, cantik. Sendirian saja." Preman itu mencawil dagu gadis itu.

"Ikut, Abang yuk!" Kedua Preman itu memegangi tangan perempuan yang tadi digoda nya satu sebelah kanan dan satu sebelah kiri. Mereka terlihat memaksa gadis itu.

Aku mencari cara untuk menolongnya, sambil mengamati situasi. Tiba-tiba mobil polisi berhenti tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku segera menghampiri gadis yang sedang ditarik kedua preman.

"Sayang, ayo itu jemputan kita sudah menunggu."

"Pah! kita disini." Aku melambaikan tangan ke arah mobil polisi yang baru saja membuka kaca jendelanya.

"Yuk!" Aku menarik tangan perempuan itu, menuju mobil polisi. Aku sedikit menoleh kebelakang.

"Ada polisi Bro." Kedua preman itu terlihat ketakutan. Lalu, bergegas lari terbirit-birit.

Setelah kedua preman itu pergi aku tertawa.

"Makasih yah, kamu udah nolongin aku, kalo gak ada kamu entah nasibku kayak apa." Gadis itu tersenyum. Membuat hatiku tak karuan.

"Iya, sama-sama, lain kali kamu, harus hati-hati."

"Ren, Ayo!" teriak Nety dari seberang jalan.

"Bentar!" jawabku pada Nety.

"Kamu baru pulang sekolah?" tanyaku.

"Iya," terangnya.

"Kok, sendirian?"

"Aku lagi nunggu jemputan Kakaku," terangnya.

"Ya udah aku temenin, kamu sampai Kaka kamu kesini." Aku kwatir gadis itu diganggu lagi sama preman.

"Gak usah, nanti ngerepotin Aa," ucap gadis itu lembut.

Apa? Aku gak salah dengar, dia manggil aku Aa. Berarti dia nyangka aku laki-laki.

"Gak, ngerepotin. Kok," ucapku.

"Oh, iya. Nama kamu siapa?" tanyaku kemudian.

"Aku, Dinda." jawabnya.

"Namanya cantik, secantik orangnya."

Dinda tersipu malu, pipinya bersemu merah bak tomat matang.

"Aa, bisa saja. Oh, iya nama Aa siapa?"

"Rendy." ucapku berbohong.

Aku tidak ingin Dinda tahu kalau aku perempuan

Tak terasa obrolan kami mengalir begitu saja, terasa nyaman ngobrol dengannya sampai kami bertukar nomer telepon.

"Dinda!" Teriak pemuda yang menaiki motor gede.

"Maaf, ya A. Itu A Eja udah datang." Dinda berpamitan.

"Ya udah, hati-hati." Aku melambaikan tangan.

Dinda berlalu pergi menghampiri Kakanya.

Setelah pertemuan itu aku selalu terbayang-bayang wajahnya, senyumnya.

Bahkan aku seperti orang gila senyum-senyum sendiri.

****

Hari ini majikanku pergi keluar kota untuk berlibur, di rumah hanya ada aku dan Nety. Aku berniat mengajak Dinda jalan-jalan mumpung majikanku tidak ada di rumah. Jadi, aku bebas melakukan apapun.

Nety sudah mengetahui hubunganku dengan Dinda, walau awalnya gadis itu menentang, tetapi aku bersikeras pada akhirnya ia pun mau menjaga rahasia ini.

"Makasih ya, Aa udah bayarin semua belanjaanku, bahkan membelikan baju untuk Bunda juga, Bunda pasti senang." Dinda begitu bahagia.

"Aku senang lihat kamu bahagia." Aku memeluknya.

"Aku sangat mencintaimu, janji ya, jangan tinggalin aku?"

"Iya, aku janji."

Setelah itu aku mengajaknya mampir ke rumah majikanku yang tentunya aku mengaku kalau itulah rumahku.

Dinda begitu takjub melihat rumah megah bertingkat didepan matanya.

Maafkan aku, Din. Karena telah membohongimu, aku terpaksa melakukan ini. Karena aku tidak mau kehilanganmu.

Hubungan kami semakin hari, semakin dekat, bahkan ia mengenalkanku pada kedua orang tuanya. Orang tua Dinda sangat mendukung hubungan kami. Aku menutup rapat tentang jati diriku, karena aku tidak mau Dinda tahu semua tentangku, aku sudah terlanjur mencintainya.

Aku tidak peduli mau itu salah atau benar, karena aku sudah sangat mencintai gadis itu. Bodo amat orang mau bilang apa.


.



[Aku pengen ketemu.] Dinda tiba-tiba mengirimi aku chat.

[Tumben, kangen yah?] Godaku.

[Nanti siang, bisa gak?] balasnya cepat.

Aku berpikir terlebih dahulu, masalahnya aku lagi kerja tetapi kalau aku menolak dia juga pasti marah.

"Aaarrg." Aku mengacak rambutku.

Siang hari setelah aku mengantar anak majikanku ke sekolah aku mencoba ijin untuk keluar sebentar.

Majikanku terlihat menimbang permintaanku sebelum akhirnya ia memberi ijin dengan syarat aku harus kembali tepat waktu.

Aku bergegas menemui Dinda di kafe yang telah ia siapkan, sesampainya disana gadisku itu sudah duduk di ujung meja dekat jendela, didepnnya sudah ada jus alpukat yang sudah habis setengahnya.

"Maaf, Sayang. Aku telat." Aku menghempaskan bokong di kursi.

"Iya, gak papa," jawabnya dingin.

"Kamu kenapa, ada masalah?"tanyaku heran. Enggak biasanya Dinda bersikap seperti ini.

"Aku mau ngomong sesuatu," ucapnya ragu.

"Apa?" Aku sedikit penasaran.

"Aku ... mau kita putus!" ucap Dinda pelan tapi tegas.

"Kenapa kamu tiba-tiba minta putus?" Aku sedikit tidak percaya dengan perkataannya barusan.

"Aku sudah tahu semuanya."

"Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi, aku muak dengan semua sandiwaramu!" Dinda berlalu pergi dari hadapanku, aku mengejarnya. Lalu, meraih tangannya.

"Lepasin, atau aku akan teriak!" ancamnya.

Dengan ragu aku melepaskan tangannya, Dinda berlalu pergi dengan langkah panjangnya, aku hanya bisa menatap punggung Dinda yang kian menjauh.

Sekuat apapun aku menahan linangan air mata agar tidak meluruh, tetapi itu sia-sia. Buliran bening itu meluncur bebas membasahi pipi.

Kukira aku tidak akan merasakan rasa sakit di tinggalkan kekasih lagi, nyatanya aku merasakan yang kedua kalinya.

Rasa sakit kali ini tidak bisa dijabarkan oleh kata-kata yang pastinya aku hancur sehancur-hancurnya.

Aku kembali mengurung diri di kamar, tanpa bicara, tanpa makan dan minum.

Entah berapa lama aku mengurung diri sendiri, kurasakan tubuhku lemas tak bertenaga. Hingga aku tidak mampu membuka mata.

The End.

Post a Comment for "Cerita Sakit Hati, Aku Tidak Percaya Pria Lagi? "