Kejamnya! Gara-gara Penampilan Kamu Putuskan Aku Begitu Saja
Cerita Cinta Terbaru dan Terseru
Hari ini adalah pertemuan pertamaku dengan Radit---kekasih pujaanku.
Aku tidak memperhatikan penampilanku yang penting auratku tidak terlihat itu sudah cukup. Walau memang ini pertemuan pertamaku. Namun, inilah aku yang selalu tampil apa adanya.
Aku tidak suka di atur, apalagi pagi ini awan menumpahkan air, jadi jalanan pasti becek, makannya aku memilih pakaian yang simple.
Setelah Aku sampai di taman kota Bandung, ia membersihkan kakinya yang penuh dengan lumpur, untung saja tadi aku sempat membawa air mineral. Jadi, aku bisa membersihkan kaki yang penuh lumpur terlebih dahulu.
Aku berjalan mencari seseorang yang akan aku temui, suasananya tidak terlalu ramai. Namun, orang yang aku cari tidak terlihat batang hidungnya, setelah aku tidak menemukan Radit, aku mengeluarkan ponsel dari tas. Lalu, segera menghubungi kekasih hatiku.
"Kamu di mana? Aku udah nungguin dari tadi," ucap lelaki di seberang sana.
Suaranya seperti deket banget ya?
Aku memindai sekitar dengan teliti, di ujung sana terlihat cowo jangkung sedang berdiri membelakangi, satu tangannya memegangi handphone di telinga.
Sepertinya itu Radit, pikirku.
"Aku di belakangmu," ucapku sambil mendekat.
Lelaki itu menoleh, ia terlihat kaget. Lalu, memindai penampilanku dari atas sampai bawah. Aku jadi salah tingkah di perhatikan sedemikian rupa. Sesaat kami saling terdiam.
Napasku terasa sesak, jantungku tidak karuan, ternyata Radit lebih ganteng aslinya daripada poto yang ada di profil. Wajahnya putih bersih, matanya berwarna coklat kebiruan, dihiasi alis tebal, menambah ketampanannya.
Lelaki itu memakai jaket berwarna hitam resletingnya di biarkan terbuka dalamannya memakai kaos warna senada, bawahannya celana jean. Ia terlihat cool.
"Hey, Kok. Malah bengong."
"I-iya, kenapa?" Ah, kenapa aku jadi gugup gini sih.
"Duduk yuk, aku pegel berdiri terus." Radit berjalan menuju kursi panjang yang tersedia di dekat aku berdiri.
Aku masih mematung, melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Aku masih tidak percaya lelaki yang selama ini kukenal di maya sekarang ada di hadapanku.
"Nay, sini." Radit membuyarkan lamunanku.
Aku segera menghampirinya. Lalu menghempaskan bokong di sebelahnya. Suasana terasa canggung, rasanya aku akan kehilangan oksigen, Lama-lama dekat dengannya.
"Nayra."
"Radit."
Kami bicara berbarengan, sesaat saling pandang. Lalu, kami sama-sama tertawa.
"Kok, bisa barengan ya?"
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. Setelah itu percakapan kami mulai mengalir begitu saja. Aku pun mulai menikmatinya. Rasa gugup ini sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Radit lelaki yang baik dan sopan, asyik diajak bicara. Tidak salah aku memilihnya.
Kriyuk ... kriyut
Perutku sedikit meronta, cacing-cacing berdemo meminta di isi, karena tadi aku buru-buru, jadinya tidak sempat sarapan
"Kamu, laper?" tanyanya.
"Hu'um," jawabku malu-malu.
"Sama, aku juga." Radit cengengesan.
"Ya, udah yuk. Kita cari makan dekat sini."
Kami berdiri berbarengan hingga kepala kami beradu.
"Aw." Aku memegangi kening. Lalu, menatapnya. Sekarang bukan kepala kami yang beradu, tetapi mata kami saling pandang. Rasanya tenang banget ketika menatap mata teduhnya. Sesaat aku tersadar dan memalingkan wajah sebelum Radit tersadar aku perhatikan.
"Sebelum makan, kamu ikut aku dulu."
"Kemana?"
"Udah, ikut aja." Tanpa menjawab pertanyaanku ia langsung menarik tanganku, rasanya seperti tersengat listrik ketika ia menggandeng erat tanganku.
Aku berjalan mengikuti langkah kakinya, beberapa menit kami sampai ke tempat yang di tuju.
"Kamu pilih, Rok mana yang kamu suka?"
"Nanti, aku yang bayar," ucapnya lagi.
"Tapi ...."
"Jangan membantah."
Aku menuruti perintahnya segera memilih Rok yang aku suka. Mataku tertuju pada rok kotak-kotak berwarna hijau botol, aku mengambilnya. Lalu, menunjukannya pada Radit.
"Ini?" tanya Radit memastikan.
"Iya."
"Ya udah, kamu pakai."
"Pakai di sini?"
"Iya," ucapnya tanpa dosa.
Yang benar saja aku di suruh langsung memakai rok di depan semua orang, ini pinggir jalan loh, bukan mall.
"Tapi, aku malu." Aku sedikit berbisik.
Perasaan penampilanku tidak ada yang aneh, aku memakai krudung Rabani yang menjuntai sampai ke dada, di padukan dengan baju selutut dan bawahan celana panjang.
"Sebenarnya aku gak suka kamu memakai celana, aku lebih suka perempuan memakai rok panjang," ucap Radit to the poin.
Oh, jadi itu alasannya toh, ternyata ia religi banget yah, mungkin ia tidak mau lekuk tubuhku terlihat oleh lelaki lain. Hmmm, jadi tambah sayang deh. Eh.
Aku menuruti permintaannya, walau sebenarnya aku risih semua mata memandang aneh kepadaku. Gimana gak aneh coba, aku memakai Rok di dekat pedagangnya.
Setelah Radit membayarnya kami mencari tempat makan.
"Kamu, mau pesan apa?" tanya Radit. Sekarang kami berada di rumah makan sederhana.
"Ayam goreng, sambal sama jengkol."
"Hah, jengkol?" Radit terlihat tidak suka aku memesan jengkol.
"Jangan jengkol, yang lain aja. Bau tahu."
"Kenapa sih, aku suka, Kok."
Setelah kami sedikit berargumen, karena kesukaan kami yang bertolak belakang, akhirnya Radit mengalah.
Beberapa menit pelayan segera membawa pesanan kami. Radit hanya memesan chicken. Lelaki itu irit banget yah.
Karena aku sudah lapar sekali, aku langsung melahap makanan yang terhidang.
Radit terlihat bergidig melihatku makan jengkol dengan lahap.
"Kamu, mau?" Aku menawarinya.
"Enggak!"
"Aaaaa." Aku menyodorkan jengkol ke mulutnya.
"Aku, gak suka, Nay," tolaknya.
"Cobain geh, enak tahu."
"Aku bilang gak suka!" bentaknya.
Aku terlonjat kaget, mendengar bentakannya. Padahal aku cuma menawarinya. Kukira ia tidak akan semarah itu.
Air bening lolos begitu saja, tanpa bisa kubendung, aku menunduk menyembunyikan air mata yang terus merembes membasahi pipi.
"Maaf, aku gak maksud bentak kamu."
"Iya, gak papa, aku yang salah, Kok."
"Ya udah, kita pulang yuk! Bentar lagi gelap."
"Iya."
Kami beranjak meninggalkan rumah makan sederhana itu, sepanjang perjalanan ke stasiun kereta. Radit terus meminta maaf dan berusaha menghiburku, rasa sedihku hilang seketika.
Radit pandai sekali membuatku tertawa dengan hal-hal konyolnya. Tidak terasa kami telah sampai ke stasiun kereta.
Radit segera memesankan tiket untukku. Setelah itu ia menyerahkan tiket itu kepadaku.
Setelah Radit berpamitan ia segera pergi, karena takut kereta yang akan ia tumpangi tiketnya habis. Arah kami berlawanan makannya kami berpisah sampai di sini.
Rasanya waktu berlalu lebih cepat ketika bersamanya. Seharian penuh menghabiskan waktu dengan Radit, tetapi terasa sekejap.
.
Setelah pertemuan itu tidak ada kabar dari Radit, ia seakan menghilang dari dunia.
Satu hari
Dua hari
Sampai satu minggu
Tidak ada chat darinya, sebelum kami ketemuan setiap waktu ia selalu mengirimiku pesan walau hanya sekedar mengucapkan selamat pagi.
Aku begitu kwatir, takut terjadi apa-apa kepadanya.
"Radit, kamu kemana sih?"
Ada rindu menelusup kalbu, membuatku resah gelisah tak menentu. Setiap hari aku kepikiran dia terus.
Aku mencoba berhusnuzon mungkin hpnya rusak atau dia sibuk.
***
Aku mencoba menyibukan diri, agar tidak kepikiran Radit terus. Sampai-sampai benda pipih berhari-hari aku abaikan, karena setiap aku memegang benda persegi panjang itu aku selalu ingin melihat fotonya. Jadinya aku kepikiran terus.
"Teh, HP teteh bunyi terus tuh dari tadi," ucap Ade bungsuku.
"Udah, biarin aja."
"Siapa tahu penting, Teh." Doni menyodorkan benda pipih itu ke hadapanku.
"Taro aja di situ. De."
Aku masih bergulat dengan laptop mengabaikan benda persegi panjang yang terus berdering.
Lama-lama konsentrasiku buyar karena suara handphone yang tidak mau berhenti. Aku mengambil benda pipih itu. Lalu, segera menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat nama yang tertera di layar.
"Halo, ini siapa?"
"Ini, aku Radit," ucap suara di seberang sana.
"Kamu ke mana aja? Kenapa ngilang berhari-hari, gak ngabarin aku? Kamu baik-baik aja kan." Aku langsung memberondong pertanyaan.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. "
Perasaanku langsung tidak enak, ada apa ini?
"Apa?"
"Kurasa hubungan kita cukup sampai di sini, maaf!"
Deg!
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong seperti itu?" tanyaku penasaran.
"Aku kecewa sama kamu, dari awal aku sudah mewanti-wanti, agar kamu memakai gamis saat kita ketemu. Tapi, apa yang kamu lakukan, bikin aku malu!"
Pernyataannya membuatku syok, tulangku terasa melemas, aku tak mampu menahan tubuhku, badanku meluruh ke lantai bersamaan dengan air netra yang tidak mampu kubendung lagi.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Padahal aku sudah berharap banyak padanya. Tetapi, apa yang aku dapatkan. Kekecewaan.
Memang sebelum kami ketemu Radit berpesan agar aku memakai gamis. Namun, pagi itu hujan deras mana mungkin aku memakai gamis sedangkan jalanan becek. Pastinya ribet. Dan aku berpikir kalau dia benar-benar mencintaiku pasti ia menerimaku apa adanya.
Aku mengguyur tubuhku dengar air sower, membiarkan seluruh badan basah, berharap rasa sesak di dada akan mereda.
Dengan tertatih aku beranjak, keluar dari kamar mandi. Seluruh tubuh menggigil, pada akhirnya aku terjatuh sakit.
***
Butuh waktu berbulan-bulan untukku, menyembuhkan luka hatiku, dan melupakan Radit. Namun, dengan entengnya Radit mengajakku balikan.
Radit berjanji akan merubah sikapnya, tetapi aku sudah terlanjur sakit, aku tidak ingin terjatuh ke lubang yang sama.
Bahkan kata-katanya selalu terngiang-ngiang di kepala, bahwa aku bikin malu.
Sekarang aku lebih berhati-hati, apalagi kalau kenalnya lewat sosmed, karena aku sadar kenalnya maya, sakitnya nyata.
The End
Cerpen Arcarta- Diputusin Gara-gara Penampilan - Aku terburu-buru masuk angkot, satu menit saja aku telat pasti akan ketinggalan. Aku duduk di pojok dekat jendela, orang-orang memperhatikanku, mungkin heran karena sandal jepit yang kugunakan penuh dengan lumpur. Gara-gara tadi pagi hujan jadinya jalanan becek, mana gak ada ojek.
Hari ini adalah pertemuan pertamaku dengan Radit---kekasih pujaanku.
Aku tidak memperhatikan penampilanku yang penting auratku tidak terlihat itu sudah cukup. Walau memang ini pertemuan pertamaku. Namun, inilah aku yang selalu tampil apa adanya.
Aku tidak suka di atur, apalagi pagi ini awan menumpahkan air, jadi jalanan pasti becek, makannya aku memilih pakaian yang simple.
Setelah Aku sampai di taman kota Bandung, ia membersihkan kakinya yang penuh dengan lumpur, untung saja tadi aku sempat membawa air mineral. Jadi, aku bisa membersihkan kaki yang penuh lumpur terlebih dahulu.
Aku berjalan mencari seseorang yang akan aku temui, suasananya tidak terlalu ramai. Namun, orang yang aku cari tidak terlihat batang hidungnya, setelah aku tidak menemukan Radit, aku mengeluarkan ponsel dari tas. Lalu, segera menghubungi kekasih hatiku.
"Kamu di mana? Aku udah nungguin dari tadi," ucap lelaki di seberang sana.
Suaranya seperti deket banget ya?
Aku memindai sekitar dengan teliti, di ujung sana terlihat cowo jangkung sedang berdiri membelakangi, satu tangannya memegangi handphone di telinga.
Sepertinya itu Radit, pikirku.
"Aku di belakangmu," ucapku sambil mendekat.
Lelaki itu menoleh, ia terlihat kaget. Lalu, memindai penampilanku dari atas sampai bawah. Aku jadi salah tingkah di perhatikan sedemikian rupa. Sesaat kami saling terdiam.
Napasku terasa sesak, jantungku tidak karuan, ternyata Radit lebih ganteng aslinya daripada poto yang ada di profil. Wajahnya putih bersih, matanya berwarna coklat kebiruan, dihiasi alis tebal, menambah ketampanannya.
Lelaki itu memakai jaket berwarna hitam resletingnya di biarkan terbuka dalamannya memakai kaos warna senada, bawahannya celana jean. Ia terlihat cool.
"Hey, Kok. Malah bengong."
"I-iya, kenapa?" Ah, kenapa aku jadi gugup gini sih.
"Duduk yuk, aku pegel berdiri terus." Radit berjalan menuju kursi panjang yang tersedia di dekat aku berdiri.
Aku masih mematung, melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Aku masih tidak percaya lelaki yang selama ini kukenal di maya sekarang ada di hadapanku.
"Nay, sini." Radit membuyarkan lamunanku.
Aku segera menghampirinya. Lalu menghempaskan bokong di sebelahnya. Suasana terasa canggung, rasanya aku akan kehilangan oksigen, Lama-lama dekat dengannya.
"Nayra."
"Radit."
Kami bicara berbarengan, sesaat saling pandang. Lalu, kami sama-sama tertawa.
"Kok, bisa barengan ya?"
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. Setelah itu percakapan kami mulai mengalir begitu saja. Aku pun mulai menikmatinya. Rasa gugup ini sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Radit lelaki yang baik dan sopan, asyik diajak bicara. Tidak salah aku memilihnya.
Kriyuk ... kriyut
Perutku sedikit meronta, cacing-cacing berdemo meminta di isi, karena tadi aku buru-buru, jadinya tidak sempat sarapan
"Kamu, laper?" tanyanya.
"Hu'um," jawabku malu-malu.
"Sama, aku juga." Radit cengengesan.
"Ya, udah yuk. Kita cari makan dekat sini."
Kami berdiri berbarengan hingga kepala kami beradu.
"Aw." Aku memegangi kening. Lalu, menatapnya. Sekarang bukan kepala kami yang beradu, tetapi mata kami saling pandang. Rasanya tenang banget ketika menatap mata teduhnya. Sesaat aku tersadar dan memalingkan wajah sebelum Radit tersadar aku perhatikan.
"Sebelum makan, kamu ikut aku dulu."
"Kemana?"
"Udah, ikut aja." Tanpa menjawab pertanyaanku ia langsung menarik tanganku, rasanya seperti tersengat listrik ketika ia menggandeng erat tanganku.
Aku berjalan mengikuti langkah kakinya, beberapa menit kami sampai ke tempat yang di tuju.
"Kamu pilih, Rok mana yang kamu suka?"
"Nanti, aku yang bayar," ucapnya lagi.
"Tapi ...."
"Jangan membantah."
Aku menuruti perintahnya segera memilih Rok yang aku suka. Mataku tertuju pada rok kotak-kotak berwarna hijau botol, aku mengambilnya. Lalu, menunjukannya pada Radit.
"Ini?" tanya Radit memastikan.
"Iya."
"Ya udah, kamu pakai."
"Pakai di sini?"
"Iya," ucapnya tanpa dosa.
Yang benar saja aku di suruh langsung memakai rok di depan semua orang, ini pinggir jalan loh, bukan mall.
"Tapi, aku malu." Aku sedikit berbisik.
Perasaan penampilanku tidak ada yang aneh, aku memakai krudung Rabani yang menjuntai sampai ke dada, di padukan dengan baju selutut dan bawahan celana panjang.
"Sebenarnya aku gak suka kamu memakai celana, aku lebih suka perempuan memakai rok panjang," ucap Radit to the poin.
Oh, jadi itu alasannya toh, ternyata ia religi banget yah, mungkin ia tidak mau lekuk tubuhku terlihat oleh lelaki lain. Hmmm, jadi tambah sayang deh. Eh.
Aku menuruti permintaannya, walau sebenarnya aku risih semua mata memandang aneh kepadaku. Gimana gak aneh coba, aku memakai Rok di dekat pedagangnya.
Setelah Radit membayarnya kami mencari tempat makan.
"Kamu, mau pesan apa?" tanya Radit. Sekarang kami berada di rumah makan sederhana.
"Ayam goreng, sambal sama jengkol."
"Hah, jengkol?" Radit terlihat tidak suka aku memesan jengkol.
"Jangan jengkol, yang lain aja. Bau tahu."
"Kenapa sih, aku suka, Kok."
Setelah kami sedikit berargumen, karena kesukaan kami yang bertolak belakang, akhirnya Radit mengalah.
Beberapa menit pelayan segera membawa pesanan kami. Radit hanya memesan chicken. Lelaki itu irit banget yah.
Karena aku sudah lapar sekali, aku langsung melahap makanan yang terhidang.
Radit terlihat bergidig melihatku makan jengkol dengan lahap.
"Kamu, mau?" Aku menawarinya.
"Enggak!"
"Aaaaa." Aku menyodorkan jengkol ke mulutnya.
"Aku, gak suka, Nay," tolaknya.
"Cobain geh, enak tahu."
"Aku bilang gak suka!" bentaknya.
Aku terlonjat kaget, mendengar bentakannya. Padahal aku cuma menawarinya. Kukira ia tidak akan semarah itu.
Air bening lolos begitu saja, tanpa bisa kubendung, aku menunduk menyembunyikan air mata yang terus merembes membasahi pipi.
"Maaf, aku gak maksud bentak kamu."
"Iya, gak papa, aku yang salah, Kok."
"Ya udah, kita pulang yuk! Bentar lagi gelap."
"Iya."
Kami beranjak meninggalkan rumah makan sederhana itu, sepanjang perjalanan ke stasiun kereta. Radit terus meminta maaf dan berusaha menghiburku, rasa sedihku hilang seketika.
Radit pandai sekali membuatku tertawa dengan hal-hal konyolnya. Tidak terasa kami telah sampai ke stasiun kereta.
Radit segera memesankan tiket untukku. Setelah itu ia menyerahkan tiket itu kepadaku.
Setelah Radit berpamitan ia segera pergi, karena takut kereta yang akan ia tumpangi tiketnya habis. Arah kami berlawanan makannya kami berpisah sampai di sini.
Rasanya waktu berlalu lebih cepat ketika bersamanya. Seharian penuh menghabiskan waktu dengan Radit, tetapi terasa sekejap.
.
Setelah pertemuan itu tidak ada kabar dari Radit, ia seakan menghilang dari dunia.
Satu hari
Dua hari
Sampai satu minggu
Tidak ada chat darinya, sebelum kami ketemuan setiap waktu ia selalu mengirimiku pesan walau hanya sekedar mengucapkan selamat pagi.
Aku begitu kwatir, takut terjadi apa-apa kepadanya.
"Radit, kamu kemana sih?"
Ada rindu menelusup kalbu, membuatku resah gelisah tak menentu. Setiap hari aku kepikiran dia terus.
Aku mencoba berhusnuzon mungkin hpnya rusak atau dia sibuk.
***
Aku mencoba menyibukan diri, agar tidak kepikiran Radit terus. Sampai-sampai benda pipih berhari-hari aku abaikan, karena setiap aku memegang benda persegi panjang itu aku selalu ingin melihat fotonya. Jadinya aku kepikiran terus.
"Teh, HP teteh bunyi terus tuh dari tadi," ucap Ade bungsuku.
"Udah, biarin aja."
"Siapa tahu penting, Teh." Doni menyodorkan benda pipih itu ke hadapanku.
"Taro aja di situ. De."
Aku masih bergulat dengan laptop mengabaikan benda persegi panjang yang terus berdering.
Lama-lama konsentrasiku buyar karena suara handphone yang tidak mau berhenti. Aku mengambil benda pipih itu. Lalu, segera menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat nama yang tertera di layar.
"Halo, ini siapa?"
"Ini, aku Radit," ucap suara di seberang sana.
"Kamu ke mana aja? Kenapa ngilang berhari-hari, gak ngabarin aku? Kamu baik-baik aja kan." Aku langsung memberondong pertanyaan.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. "
Perasaanku langsung tidak enak, ada apa ini?
"Apa?"
"Kurasa hubungan kita cukup sampai di sini, maaf!"
Deg!
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong seperti itu?" tanyaku penasaran.
"Aku kecewa sama kamu, dari awal aku sudah mewanti-wanti, agar kamu memakai gamis saat kita ketemu. Tapi, apa yang kamu lakukan, bikin aku malu!"
Pernyataannya membuatku syok, tulangku terasa melemas, aku tak mampu menahan tubuhku, badanku meluruh ke lantai bersamaan dengan air netra yang tidak mampu kubendung lagi.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Padahal aku sudah berharap banyak padanya. Tetapi, apa yang aku dapatkan. Kekecewaan.
Memang sebelum kami ketemu Radit berpesan agar aku memakai gamis. Namun, pagi itu hujan deras mana mungkin aku memakai gamis sedangkan jalanan becek. Pastinya ribet. Dan aku berpikir kalau dia benar-benar mencintaiku pasti ia menerimaku apa adanya.
Aku mengguyur tubuhku dengar air sower, membiarkan seluruh badan basah, berharap rasa sesak di dada akan mereda.
Dengan tertatih aku beranjak, keluar dari kamar mandi. Seluruh tubuh menggigil, pada akhirnya aku terjatuh sakit.
***
Butuh waktu berbulan-bulan untukku, menyembuhkan luka hatiku, dan melupakan Radit. Namun, dengan entengnya Radit mengajakku balikan.
Radit berjanji akan merubah sikapnya, tetapi aku sudah terlanjur sakit, aku tidak ingin terjatuh ke lubang yang sama.
Bahkan kata-katanya selalu terngiang-ngiang di kepala, bahwa aku bikin malu.
Sekarang aku lebih berhati-hati, apalagi kalau kenalnya lewat sosmed, karena aku sadar kenalnya maya, sakitnya nyata.
The End
Post a Comment for "Kejamnya! Gara-gara Penampilan Kamu Putuskan Aku Begitu Saja"