Kisah Cinta Terbaper, Aku Jatuh Cinta Pada Duda Beranak Satu
Cerita Terindah Tentang Cinta
Ke sana ke mari aku mencari pekerjaan tetapi, tak kunjung dapat. Entah aku bingung harus ke mana lagi mencari pekerjaan supaya aku bisa mendapatkan uang untuk membayar hutang almarhum Ayah yang jumlahnya pun tak sedikit.
"Ade kenapa, kok nangis?" Aku tidak sengaja melihat anak kecil yang sedang menangis sendirian.
"Aku kesasar, Ka," jawabnya masih di iringi isak tangis.
"Udah, jangan nangis. Kaka punya permen mau?" Aku mensejajarkan tubuhku. Lalu, mengeluarkan loli pop dari dalam tas.
"Mau." Anak itu terlihat girang saat aku sodorkan sebuah permen.
Aku mengajaknya duduk di kursi panjang pinggir jalan sambil bertanya di mana alamat rumahnya tetapi, nihil bocah kecil itu tidak tahu tinggal di mana.
Beberapa saat kemudian seorang pemuda menghampiri kami.
"Reyna, kamu di sini, dari tadi papah nyariin kamu sayang. Kamu gak papa kan?" Pria itu langsung memeluk anak kecil yang aku temukan tadi. Wajah lelaki itu terlihat kwatir.
"Gak, papa. Kok, Pah. Untung ada Kaka cantik ini." Anak itu tersenyum manis padaku.
"Makasih, yah udah jagain anak saya."
"Iya sama-sama, lain kali. Anaknya di jagain yang bener."
***
Dari kejauhan aku melihat seseorang bertopeng menaruh beras satu karung di depan rumahku sedetik kemudian ia bergegas pergi, dari kejauhan aku mengikuti langkahnya. Di dekat warung orang itu melepaskan topengnya. Lalu, memberikan uang kepada si penjual. Saat orang itu berbalik ternyata Reno sahabatku dari kecil.
"Jadi, selama ini yang naro beras di depan rumah itu lo?" Aku mencegatnya saat Reno melewatiku yang sedang sembunyi di balik dinding warung.
"I--iya." Reno terlihat gugup.
"Kenapa, Lo baik banget sih? Harusnya lo gak usah ngelakuin ini."
"Lo kan sahabat gue dari kecil, Din. Apa salahnya gue bantu."
"Tapi, kan. Ren ...."
"Udah, Gue pergi dulu mau markir." Reno memotong pembicaraanku.
Reno pergi dengan terburu-buru, aku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Reno orangnya emang baik banget selalu ada saat susah dan senang. Beruntung banget aku punya sahabat seperti dia.
****
Suara alarm terus berbunyi membuat telinga bising, aku meraba-raba jam beker yang terletak di nakas dengan mata masih terpejam aku menekan tombol of dan terlelap lagi.
Entah berapa lama aku tertidur lagi, saat aku buka mata dan melirik ke kanan, jarum jam sudah menunjuk angka 8.
Mati! aku pasti telat, aku menepok jidat sambil bergegas ke kamar mandi.
Rencananya hari ini aku akan mencari pekerjaan lagi, semoga saja hari ini aku beruntung bisa mendapatkan pekerjaan.
Setelah ritual mandiku selesai aku bersiap. Lalu, bergegas pergi dengan tergesa-gesa hingga di perjalanan aku menabrak seseorang.
"Maaf ... maaf, aku gak sengaja."
"Kaka, baik!" Panggil Reyna gadis kecil yang aku temuin di jalan.
"Hay, cantik." Sapaku sambil melambaikan tangan.
Gadis kecil itu membalas lambaian tanganku. Lalu, ia tersenyum menampilkan deretan gigi rapinya.
"Ya udah, sampai ketemu. Kakak pergi dulu, udah telat nih," ucapku sambil melihat jam di pergelangan tangan.
"Kamu mau ke mana? Biar aku antar sekalian," tawarnya.
"Saya mau cari kerja, Pak."
"Jangan panggil saya Bapak saya masih muda kali."
"Oh iya, kamu kan lagi cari kerja, gimana kalau kamu. Jadi, baby siter Reyna saja."
Aku menimbang-nimbang tawarannya, boleh juga sih jadi baby siter daripada aku harus luntang lantung ke sana ke mari cari kerjaan tapi enggak dapat-dapat.
"Ya udah, boleh, Pak."
"Panggil, bapak lagi saya pecat kamu," ucapnya garang.
"Ma ... maaf, Pak." Aku merasa gugup, masa ia baru di terima udah mau di pecat lagi.
"Becanda, kali. Serius amat," ucapnya di iringi tawa.
Keliatannya saja pria ini cuek dan garang tetapi, dia bisa becanda juga.
.
"Tugas kamu, jagain Reyna dan urus keperluannya."
"Siap, bos!"
"Ini siapa, Sayang?" tanya wanita seksi yang baru datang.
Mungkin dia istrinya tetapi, kalau dia istrinya ngapain harus ada beby siter, ah. Mikirin apa aku ini. Bodo amatlah.
"Kaka, main sama aku yuk!" Reyna menarik tanganku.
"Ya udah, kamu temenin Reyna main!" Perintah Mas Dirga.
Aku mengangguk, sedetik kemudian mengikuti langkah Reyna yang terus menarik tanganku.
Aku duduk di samping Reyna yang sedang asyik menggambar sambil menghirup udara segar, kebetulan kami berada di dekat kolam terbuka, belakang rumah.
"Kaka, aku haus," ucap Reyna.
"Ya udah, Kaka ambilin dulu." Aku beranjak untuk mengambilkannya minum.
"Aahhhh." Hampir saja tubuhku tergelincir ke kolam, kalau Mas Dirga tidak sigap menangkapku.
Sesaat kami saling pandang, ada getaran yang tak biasa bahkan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Kamu, gak papa?"
"Eng ... enggak, Mas." Aku gelagapan.
Aku buru-buru pamit sebelum aku salah tingkah saat berada di dekat Mas Dirga.
Entah kenapa dari pertama ketemu jantungku selalu berdegup kencang seakan mau copot dari tempatnya.
Pukul 15:00 aku sudah di ijinkan pulang, karena Mas Dirga sudah stanby di rumah waktu sore.
Ternyata. Jadi, baby siternya Reyna gak begitu susah, ia anaknya penurut.
"Hey, Din. Abis dari mana?" tanya Reno saat berpapasan.
"Pulang kerja dong," jawabku bangga.
"Wih, sekarang lo udah dapat kerjaan?"
"Dinda, kapan Lu bayar hutang bapa lu?" Bang Hendra yang tiba-tiba datang saat kami mengobrol.
"Ambil aja motor gue Bang, buat bayar utang Dinda." Reno menawarkan.
"Motor, lu. Gak akan cukup untuk bayar hutang Bapanya Dinda!" ucap Bang Hendra.
"Udah, Bang. Nanti Gue bayar kok."
"Ya udah, gue kasih waktu lo 3 bulan."
"Kalo, lo gak bisa nge lunasin terpaksa rumah lo, gue sita!" tampaknya lagi.
Walau aku tidak tahu dalam kurun waktu tiga bulan bisa melunasi hutang pada Bang Hendra tetapi, dengan terpaksa aku menyetujuinya. Setelah itu Bang Hendra pergi.
"Maafin, Gue ya. Kirain hutang lo bisa lunas sama motor Gue."
"Iya gak papa, ya udah ah. Gue pulang dulu." Aku beranjak pergi.
"Gue anterin!" teriak Reno.
"Din!"
"Gak usah, Ren." Aku berlalu pergi tanpa menghiraukan teriakan Reno yang menawari tumpangan.
Sampai di rumah aku bergegas membersihkan diri, setelah itu rebahan. Capek juga.
Aku menatap langit-langit kamarku, seketika terbayang wajah Mas Dirga.
Kenapa wajah Mas Dirga kebayang terus yah. Ada apa sama aku?
****
Gegara semalam enggak bisa tidur, karena di bayang-bayangi Duda keren alhasil aku kesiangan, untung hari ini libur jadi, aku bisa santai di rumah.
Ketukan pintu terdengar beberapa kali, dengan malas aku bangkit. Lalu, mengecek siapa yang bertamu pagi buta begini.
"Ternyata, lo, Ren. Ada apa?"
"Gue mau ajak lo, Jalan-jalan, Din."
Sebenarnya aku mau nolak ajakan Reno tetapi, mengingat kebaikan-kebaikan yang Reno lakukan untukku aku urung menolaknya.
Reno mengajakku jalan ke pinggir danau, udaranya segar banget. Aku duduk di kursi panjang sambil melihat air yang terhampar luar.
"Din, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Wajah Reno terlihat serius, ia menatapku tanpa berkedip. Lalu, menarik kedua tanganku sedetik kemudian Reno menggenggam erat tanganku.
"Gue, suka sama lo, lo mau kan jadi pacar gue."
"Gue udah anggap lo sa---" Omonganku terputus karena handphoneku berbunyi.
Aku menarik tanganku. Lalu, mengangkat telpon.
"Iya, ada apa Mas?"
"Kamu, bisa kesini gak? Reyna gak mau makan nih kalau bukan kamu yang nyuapin," ucap Mas Dirga di ujung telpon.
"Bisa, Mas. Saya ke sana sekarang."
Aku mematikan telpon. Setelah itu berpamitan sama Reno. Lalu, bergegas pergi ke rumah Mas Dirga.
***
Saat aku sampai depan rumah Mas Dirga, aku melihat Mas Dirga bersama perempuan seksi yang waktu itu, mereka berpelukan begitu mesra, hatiku serasa teriris melihat kemesraannya.
Aku tidak tahan lagi berlama-lama melihat mereka, aku segera berlari berbalik arah. Tak terasa air mataku meluruh tanpa disuruh.
"Dinda, tunggu!"
Mendengar panggilan itu aku berhenti, air bening berlompatan membasahi pipi, aku menutup mulut agar suara isak tangisku tak terdengar.
"Aku bisa jelaskan semuanya," ucapnya. Dirga meraih tanganku.
"Sebenarnya dia adalah Rinjani Ibunya Reyna, dia ngajak aku balikan, cuma aku menolaknya karena aku sudah menemukan seseorang yang cocok untuk menjadi penggantinya ... yaitu kamu." Mas Dirga menggenggam tanganku erat.
"Kamu mau kan jadi istriku?"
Pertanyaannya membuatku mendongakkan wajah yang sedari tadi menunduk, kutatap mata coklatnya tidak ada kebohongan di sana.
"Iya, aku mau," jawabku pelan.
"Yeeahh aku punya mama, baru!" teriaknya. Reyna menghambur ke pelukan kami.
The End
Post a Comment for "Kisah Cinta Terbaper, Aku Jatuh Cinta Pada Duda Beranak Satu"