Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Remaja, Aku Jatuh Cinta dengan Penjual Nasi Goreng?

Kisah Cinta Remaja Bikin Baper, Gagal Nikah



"Pernikahan ini gak bisa dilanjutkan!" teriak Papah dengan lantang. Raut wajahnya memerah kemarahan terpancar jelas di wajahnya.

"Kenapa, Pah?" tanyaku heran. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Papah bicara seperti itu.

"Kamu pergi dari sini sekarang juga!" Papah menyeret Rangga keluar rumah.

"Ada apa sih, Pah?" Aku mencoba mencegah Papah agar dia menjelaskan apa permasalahannya.

"Pergi kamu, sampai kapanpun saya tidak akan mengijinkan kamu menikahi anak saya." Papah mendorong Rangga kasar.

"Nanti, aku akan jelaskan, Sayang." Rangga berlalu pergi.

"Pergi, kamu!" Kemarahan Papah belum juga mereda.

"Rangga, tunggu!" Aku ingin mengejar Rangga. Namun, Papah menahanku
Lalu, menyeretku masuk ke dalam rumah.

Aku menenggelamkan wajah di atas bantal, air mata mengalir deras membasahi pipi, aku tidak habis pikir dengan keputusan Papah yang tiba-tiba membatalkan pernikahanku yang tinggal satu langkah lagi.

Drttt .... Drrrrttt

Aku meraba benda pipih yang sedari tadi bergetar, sedetik kemudian menggeser tombol hijau.

"Maafin aku, Sayang. Aku gak bisa cegah Papah."

"Iya, gak papa, Sayang. Nanti biar aku bujuk Papahmu agar kita jadi menikah," ucap Rangga menenangkan.

"Aku sedih banget, harusnya hari ini kita menikah."

"Jangan sedih, Sayang. Tapi, aku minta sama kamu kalau Papahmu ngomong yang enggak-enggak tentang aku, kamu jangan percaya ya."

"Iya."

"Say---" Tiba-tiba Papah merebut handphone yang aku tempelkan di telinga.

"Dengar sampai kapan pun saya tidak akan pernah menikahkan kamu dengan putriku, dan jangan hubungi Ayu lagi!" ucap Papah lantang, Lalu, langsung mematikan sambungannya.

"Papah ini kenapa sih? Apa salah Rangga? " Aku bertanya geram.

"Rangga itu gak baik, Sayang. Ia ingin menguasai harta Papah."

"Gak mungkin!" Aku menggeleng, "Aku gak percaya sama Papah."

"Pokonya Papah tidak akan membiarkanmu menikah dengan lelaki bajingan itu." Papah berlalu begitu saja.

***
Aku memakai kaos panjang berwarna kuning, bawahnya celana jean, bersiap-siap untuk pergi, hari ini aku janjian sama Rangga di cafe untuk membicarakan tentang pernikahan yang batal tempo hari.

"Kamu, mau ke mana, Yu?" Papah bertanya saat aku menuruni tangga terakhir.

"Keluar, bentar. Pah," jawabku.

"Rendy!" panggil Papah.

Lelaki bertubuh kekar menghampiri Papah. "Iya, Bos."

"Kamu kawal Ayu, kemana pun ia pergi kamu harus ikuti." Perintahnya.

"Gak bisa gitu dong, Pah. Aku bisa jaga diri. Kenapa harus di kawal?" protesku.

"Papah gak mau kamu kenapa-napa, Sayang. Kamu nurut yah."

Mau tidak mau aku menuruti permintaan Papah, walau sebenernya aku risih terus di ikuti oleh lelaki bertubuh kekar itu. Kemana pun aku melangkah ia terus mengikuti. Menyebalkan!

"Kenapa, ngikutin aku terus sih?"

"Ini perintah, Non."

Aku mendelik mendengar jawabannya, gak bisa dibiarin nih, aku harus cari cara biar bisa kabur dari pengawal sialan ini.

"Aduh, perutku sakit." Aku memegangi perut dengan wajah kesakitan.

"Kenapa, Non?" Rendy terlihat panik.

"Kita kerumah sakit aja, Non. Yuk, saya antar."

"Gak usah, beliin obat aja sana." Aku menyodorkan satu lembar kertas merah.

"Tapi, Non." Ragu-ragu ia mengambil uang dari tanganku.

"Adududuh, sakit."

Akhirnya pengawal itu pergi juga, aku langsung mengambil langkah seribu agar pengawal itu tidak bisa mengejarku.

Bruk.

Karena terburu-buru aku menabrak lelaki sampai bawaannya terjatuh, berserakan di aspal.

"Kalau jalan, Hati-hati," omelnya.

Aku terus menengok ke belakang takut kalau pengawal itu bisa mengejarku.

"Pokonya ganti rugi."

"Maaf, Mas." Aku cepat-cepat merogoh uang di dalam tas selempangku. Lalu, melemparkannya begitu saja. Pria itu mengomel, cepat-cepat aku berlari. Tanpa menghiraukannya.

****

"Hay, Sayang. Aku kangen banget sama kamu." Aku memeluk Rangga.

"Aku, juga." Rangga membalas pelukanku.

"Aku udah pesenin makanan kesukaan kamu." Rangga menggeserkan kursi untukku duduk.

"Maaf, ya. Aku gak bisa cegah Papah."

"Iya, gak papa."

Tak menunggu lama, makanan sudah tersaji di meja, kami langsung melahapnya. Disela kami makan handphone Rangga berbunyi.

"Aku angkat telpon dulu ya, Sayang."

Aku mengangguk. Rangga beranjak pergi menjauh. Lalu, melanjutkan ritual makanku. Lama aku menunggu sampai makananku habis, Rangga tak kunjung kembali.

Aku menyusulnya, saat aku menuruni tangga terdengar seseorang yang sedang berbicara.

"Bodohnya, Ayu masuk perangkap kita lagi," ucapnya, diriinya gelak tawa.

Aku segera menghampiri arah suara itu, betapa terkejutnya aku saat melihat siapa yang sedang mengobrol, ternyata Rangga dan dua lelaki yang tak kukenal.

"Ternyata, benar yang Papah bilang, kamu itu breng**k."

"Ayu, dengerin aku dulu." Rangga meraih tanganku.

"Lepas." Aku menghempaskan tangannya kasar, sedetik kemudian aku melayangkan tamparan ke pipinya.

"Kurang ajar! berani ya. Kamu nampar aku." Rangga memegangi bekas tamparanku.

"Itu pantas kamu terima, karena sudah menghianati aku sama Papah!" ucapku lantang. Lalu aku beranjak pergi. Rangga menarik kembali tanganku.

"Lepas!" Aku mencoba memberontak. Namun, sia-sia tenaganya tak sebanding denganku.

Aku mencoba berteriak tetapi, lelaki itu langsung membekap mulutku. Lalu, kedua tanganku diikat, aku diseret paksa masuk kedalam bagasi mobil.

****

Aku menangis dengan mulut tertutup selotip. Mencoba melepaskan tali yang mengikatku tetapi, sama sekali tidak melonggar sedikitpun.

"Kok, ada suara orang nangis yah."

Aku mendengar orang berbicara diluar.

"Ih, aku jadi merinding." ucapnya lagi.

Aku menangis lebih keras sambil membrontakkan diri, moga aja orang yang bicara tadi menolongku.

Napas yang tadi terasa sesak sekarang menjadi lebih lega saat seseorang membuka bagasi mobil.

"Ayo, aku bantu. Pelan-pelan." Lelaki itu membuka selotip di mulutku dan melepaskan tali yang mengikat tanganku.

Saat aku turun kedua suruhan Rangga memergoki kami, aku dan lelaki itu langsung berlari sekuat tenaga. Untungnya kami berpapasan sama warga yang sedang keliling.

"Tolong, Pak. Orang itu ngejar kami, mereka penjahat." Aku terengah-engah.

"Mana?" tanya mereka

Aku menunjuk kedua orang suruhan Rangga, aku dan penolongku berlari secepatnya.

Setelah berlari cukup jauh, kami berhenti. Pria itu sedari tadi memegang tanganku erat, aku menatap mata elang yang memancarkan pesona. Lalu, pria itu langsung melepaskan pegangannya.

"Kamu, teh. Yang nabrak aku tadi siang, kan?"

"Aku kan udah minta maaf dan ganti rugi."

"Ganti rugi, uangnya di lemparin gituh?"

"Iya, maaf, tadi aku buru-buru."

"Ya udah atuh, aku anterin kamu pulang yah." Lelaki itu menawarkan.

"Aku gak mau pulang."

"Terus, mau ke mana atuh, Neng?"

"Ikut kamu aja boleh yah?"

"Gak bisa gitu atuh, kalau saya bawa gadis pulang ke rumah bisa digantung Emak." Dia bergidik ngeri seakan membayangkan sesuatu.

"Yah, pleas!" Aku menangkupkan tangan di depan wajah, sambil mengedip-ngedipkan mata.

"Geulis pisan." gumamnya. Lelaki berhidung mancung itu terbentang sambil menatapku dalam.

"Apa?" Aku tidak mengerti artinya.

"Gak ada." Ia menggeleng.

"Hayu atuh kalau mau ikut mah. Tapi, kita harus balik lagi ke tempat tadi. Soalnya gerobak saya, masih di sana." Lelaki itu mengalihkan pembicaraan.

****

"Ujang, maneh teh kamana wae? Meni karek balik!" teriak wanita separuh baya saat kami sampai di depan rumah sederhana.

"Assalamu'alaikum, Mak." Ujang menyalami wanita yang di panggilnya Mak.

"Wa'alaikum salam, Ieu saha, Jang?" Wanita itu menatap sinis kepadaku.

"Tadi dia disekap, Mak. Ujang tolongin deh."

"Naha atuh jeng dibawa kadieu? Lain cena balik ka imahna."

"Embungen, Mak."


Entah apa yang mereka obrolin, aku tidak mengerti.

"Rumahnya kecil gini, pasti tempatnya sempit." Aku melihat-lihat rumah di depanku.

"Nges mah numpang, balaga deih."

"Udah kamu masuk duluan sana, jangan dengerin kata Emak."

Aku masuk ke rumahnya Ujang, rumahnya sempit banget. Kalau dibandingkan dengan rumahku cuma seperempat saja. Tetapi, ya sudahlah, daripada aku harus pulang ke rumah, aku malu sama Papah karena udah gak percaya dengan omongannya, udah marah-marah pula sama Papah.

****

"Neng, di sini mah jangan malas-malasan. Sok bantuin masak," ucap Maknya Ujang saat aku menghampirinya di dapur.

"Apa, masak? Seumur-umur aku belum pernah masak." Aku bergidik ngeri melihat peralatan dapur yang serba hitam, di depanku ada Ujang yang sedang mengaduk nasi goreng.

Peralatan memasak pun masih jadul, masa ia masaknya masih pakai kayu bakar.

"Sini, Neng."

Dengan malas aku menghampiri Ujang. Lalu, menggantikannya mengaduk nasi goreng yang masih di atas wajan.

"Bukan gitu atuh, Neng." Ujang memegang tanganku, ada getaran yang tak biasa saat tangan ini bersentuhan dengannya, sesaat kami saling berpandangan.

"Ngaduknya harus sampai bawah, biar tercampur rata," ucap Ujang sambil mengayunkan tanganku.

Setelah semua selesai kami makan bersama, walau Emaknya Ujang agak judes tetapi, dia kelihatan baik.

"Emak, Ujang berangkat dulu yah." Ujang yang sudah bersiap dengan gerobaknya.

"Neng, ikut jualan yuk!" ajak Ujang padaku.

"Enggak, ah. Nanti kulit aku item lagi," tolakku.

"Ya udah, kalau kamu gak mau ikut jualan, kamu bantuin Emak aja di rumah, nyapu, ngepel, cuci piring dan gosokin peralatan dapur yang pada gosong yah." Emak menimpali.

Aku berpikir sejenak, daripada aku harus bantuin Emak yang judes lebih baik ikut Ujang. Apalagi di suruh gosokin pantat panci yang item. Iiiss, ogahlah.

"Aku ikut jualan aja."

Kami berkeliling jualan Nasi goreng, ternyata capek juga yah, mana panas banget lagi. Namun, beda dengan Ujang yang terlihat santai mendorong gerobak sambil berteriak. 'Nasi goreng gila' dengan lantang. Dia sama sekali tidak pernah mengeluh. Terlihat enjoy. Mungkin karena sudah terbiasa kali yah.

Hari pertama capek banget tetapi, beda dengan hari-hari berikutnya aku menikmatinya.

Aku kagum sama Ujang dia pekerja keras, baik, ganteng lagi. Setiap hari jalan sama dia rasanya tuh nyaman banget.

"Ayu, ternyata kamu disini. Papah kwatir banget sama kamu, kamu gak papa kan?" Papah langsung memelukku.

"Gak, papa. Pah." Aku heran Papah datang bersama 2 polisi.

"Tangkap. Pak, dia penculiknya!" Perintah Papah pada lelaki berseragam yang tadi datang bersamanya.

"Lepasin, saya bukan penculik. Pak!" ucap Ujang saat ia diseret paksa oleh polisi.

"Pah, dia bukan penculik." Aku mencoba mencegah.

"Papah yakin, dia pasti sekongkol sama Rangga."

Pak polisi membawa Ujang, tanpa bisa aku cegah.

****
Ujang terbukti tidak bersalah, setelah 2 hari tinggal di penjara dia dibebaskan, rencananya hari ini aku mau meminta maaf kepadanya karena kesalahan pahaman yang terjadi. Baru saja aku keluar kamar Papah sudah ada di hadapanku.

"Papah gak setuju kamu bergaul sama tukang nasi goreng itu!" ucap Papah setelah aku minta ijin untuk keluar menemui Ujang.

"Tapi, pah dia baik kok."

"Dia gak selevel dengan kita."

"Awas saja kalau kamu berani-berani nemuin dia lagi! Lagian juga Papah udah jodohin kamu dengan teman lama, Papah."

"Aku gak mau di jodohin!"

Aku masuk kamar lagi. Lalu, membanting pintu dengan keras.

Berhari-hari aku mengurung diri di kamar agar Papah tahu kalau aku gak suka dijodohin, karena aku sudah jatuh cinta pada Ujang.

"Ayu, ada yang mau ketemu kamu nih!" teriak Papah dari luar.

"Aku gak mau keluar sebelum Papah membatalkan perjodohan itu!"

"Yakin, kamu teh, gak mau nemuin aku?"

Suara itu serasa tidak asing di telinga. 

"Ya udah atuh, aku pulang lagi aja," ucapnya lagi.

Aku buru-buru membuka pintu, saat aku buka benar saja Ujang sedang berdiri bersama Papah dan Emaknya.

"Yakin kamu teh, gak mau dijodohin sama aku?" tanya Ujang.

"Aku mau," sontak aku menjawab. Cepat-cepat aku menutup mulut. Kenapa bibir ini gak bisa tahan, iiiss malu-maluin aja.

Emaknya Ujang dan Papah tertawa.

Ternyata Ujang adalah anaknya teman lama Papah, Papah juga tidak tahu kalau anaknya teman lamanya itu Ujang.

Tahu gitu dari kemarin saja aku terima perjodohan itu. 

 Dunia itu memang sempit yah.

The End 

Post a Comment for "Kisah Remaja, Aku Jatuh Cinta dengan Penjual Nasi Goreng? "