Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

I Love You Guru Ganteng

Cerita Cinta Romantis yang Bikin Baper 


Aku duduk di bangku tengah sambil mendengarkan musik lewat benda pipih yang kupasangkan headset. Bernyanyi dengan suara yang keras menyaksikan keributan di kelas.

"Hentikan!" Guru yang baru hari pertama mengajar itu berteriak.

Kami berhenti sejenak, Guru itu meneruskan tulisannya di papan tulis, teman-teman saling melempar lagi, menimbulkan keributan yang lebih gaduh.

"Yang tidak mau mengikuti pelajaran saya, silakan keluar!" Guru itu menunjukkan pintu keluar.

"Okey." Beranjak dari duduk dengan menenteng tas. Teman-temanku pun mengikuti.

Tidak ada yang tahan ketika mengajar di kelas kami kelas 12C. Rata-ratanya baru hari pertama saja guru sudah mengundurkan diri.

Aku berjalan dengan santai ke arah mobil yang terparkir, saat membuka pintu mobil aku melihat seorang pria yang sedang berdiri di dekat gerbang sekolah, ia menenteng map di tangan. Raut wajahnya terlihat lesu.

Aku perhatikan serasa pernah melihat orang itu, tetapi siapa ya?

Serasa pamiliar gitu.

Aku bergegas masuk mobil, saat mau menyalakan mesin, aku teringat foto yang kutemukan di kamar Abangku, segera mengambilnya dari tas karena foto itu selalu aku bawa kemana-mana.

Setelah aku perhatikan mereka memang mirip, entah orang itu yang selama ini aku cari.

Ternyata lebih ganteng aslinya daripada Fotonya.

Seminggu yang lalu, aku memasuki kamar Abang untuk melepaskan kerinduan. Duduk di meja tempat ia belajar, beraba buku-bukunya.

Air mataku meluruh tanpa disuruh, aku merindukannya, andai ia masih ada disini, aku takkan kesepian lagi.

Aku beranjak dari duduk tak sengaja menyenggol buku yang menempel di atas meja hingga terjatuh, aku segera memungutnya merapikannya kembali kepada tempatnya. Saat aku melangkah kulihat ada selembar kertas tergeletak di lantai, saat kulihat ada foto laki-laki dengan fose tersenyum. Senyumannya sangat menawan serasa membuatku tertawan.

"Ra, lo masih disini?" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

Aku segera menoleh ke sumber suara, membuka kaca mobil, melihat siapa yang bertanya. Ternyata Yuda.

"Iya, hhehe." Aku nyengir kuda.

Aku mengalihkan pandangan, melihat cowo tadi, sudah tidak ada ditempatnya.

"Orang itu kemana, ya?" gumamku.

"Siapa?" tanyanya.

"Ya udah aku pulang dulu." Tidak berniat menjawab pertanyaan Yuda, aku pamit.

Menyalakan mesin kembali. Lalu, membelah jalanan yang sudah ramai. Hanya beberapa menit aku sudah sampai rumah, karena jarak sekolah-rumah tidak terlalu jauh.

Saat aku memasuki rumah, Papah sudah berdiri dengan tangan dilipat di dada. Aku dengan santai melenggang melewati Papah, duduk di sopa sambil meletakan tas.

"Kamu itu, mau jadi apa?"

"Udah berapa, Guru yang keluar di hari pertama mengajar di kelasmu?"

"Mereka sendiri yang keluar, kenapa ngomel sama aku?" Aku mencebik.

"Papa, malu Dara, melihat kelakuan kamu kayak gitu terus."

"Mau ditaro dimana muka, Papa. Sedangkan Papa pemilik sekolahnya."

"Papah, mau aku belajar dengan bener?" Aku membuka tas. Lalu, mengeluarkan selembar Foto.

"Aku mau diajarin sama orang ini." Aku memberikan foto itu ke Papah.

"Siapa dia?"

"Udah, Papah cari aja. Kalau bukan orang yang ada di foto ini yang ngajar, aku enggak mau belajar!" Tegasku. Sambil beranjak pergi menaiki tangga.

"Apa, hebatnya orang ini coba, sampai Dara kukuh begini?"

Mendengar gumaman Papah aku berhenti. Lalu, menoleh sedetik kemudian aku mendelik.

****

Papah menepati janjinya, orang yang aku mau terlihat berjalan memasuki kelas, aku pura-pura tidak menyadari kehadirannya. Sibuk bersorak menonton adu panco. 

"Selamat Pagi, anak-anak!"

Tidak ada satupun yang menjawab sapaan guru baru itu, kami terus saja besorak.

Ayo! Ayo!" sorak teman-teman sekelasku menggema diseluruh ruangan.

"Ya udah, sekarang bapak tantang kalian untuk adu panco sama bapak."

Aku melihat ke sumber suara.

"Ayo siapa takut!" tantang Yuda.

"Tapi, ada syaratnya kalau bapak menang kalian harus belajar. Tapi, kalau kalian kalah, kalian boleh pulang tanpa harus belajar."

"Oke." Kami menyetujui.

"Ryan! maju," ucap Yuda.

Dengan gagahnya Ryan maju menghadap Pak Arya. Pak Arya melongo mungkin karena melihat tubuh Ryan yang berisi.

Pak Arya dan Ryan mulai duduk bersebrangan  di hadapan meja. Ryan dan Pak Arya meletakan siku di atas meja. Lalu, mereka menyatukan telapak tangan dengan saling menggenggam satu sama lain.

"Ryan! rian!" sorak teman-teman.

Pak Arya berusaha mendorong lengan Ryan, tetapi Ryan juga berusaha mendorong lengan Pak Arya sampai punggung tangan Pak Arya menyentuh permukaan meja.

"Yeeeh, menang!"

"Panco internasional, dilawan!" ucapku.

Pak Arya terlihat memegangi lengan, raut wajahnya terlihat kesakitan. Aku berusaha acuh walau sebenernya tidak tega.

"Yuk, pulang!" Kami menjinjing tas masing-masing. Lalu, beranjak keluar kelas.

Sebelum pulang Aku dan Yuda mampir ke warung makan di pinggir jalan, perutku terasa keroncongan.

Saat sedang asyik mengaduk-ngaduk es jeruk ada dua lelaki memhampiriku.

"Hay, cantik." Tiba-tiba lelaki itu mencawil daguku, sontak aku berdiri.

"Jangan kurang ajar yah!" Yuda mendorong lelaki itu.

"Berani kau!"

Mereka saling dorong satu sama lain. Lalu, terjadilah perkelahian.

Aku berdiri dengan rasa takut. Tiba-tiba entah darimana pak Arya datang berusaha memisahkan mereka. Kedua orang itupun lari.

Wajah Yuda masih menampakan emosi. Lalu, ia mengambil batu yang berada di dekatnya, sedetik kemudian ia melayangkan batu itu kearah berandalan yang lari kocar-kacir.

Prakk!

Kami saling berpandangan mendengar suara pecahan.

***
Akibat lemparan Yuda yang mengenai kaca mobil, pemiliknya melaporkan ke polisi alhasil Yuda di tahan.

Aku merasa bersalah karena akibat Yuda membelaku ia ditahan.

Aku mencoba menelpon Papa untuk meminta bantuannya. Namun, Papah tidak bisa dihubungi. Mungkin ia belum pulang dari luar kota.

Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Yuda.

"Kamu, istirahat. Kalau masalah Yuda kamu gak perlu khawatir biar bapak yang urus."

"Ya sudah, Bapak hati-hati."

Setelah itu motor Pak Arya melaju meninggalkan pekarangan rumahku.

.

"Terpaksa Yuda harus dikeluarkan dari sekolah ini," ucap Pak kepala sekolah.

"Tapi, Pak." Aku tidak Terima mendengar keputusan Pak Kepala Sekolah.

"Dia dari dulu juga berandalan!" Pak Kepala Sekolah terlihat kesal.

"Saya yakin Pak, Yuda itu anak baik. Beri saya kesempatan untuk membuatnya menjadi lebih baik, kalau saya gagal saya akan mengundurkan diri dari sekolah ini," ucap Pak Arya meyakinkan.

"Ya sudah, baiklah." Akhirnya Pak sekolah menyetujuinya.

Selang beberapa hari Yuda dibebaskan dari penjara dan kembali bersekolah.

"Makasih, Bang," ucap Yuda kepada lelaki yang mengantarkannya.

"Jadi, anak baik kamu. Karena berkat Arya kamu bisa bebas. Arya sampai menggadaikan motornya untuk bebasin kamu," ucap lelaki itu sebelum pergi.

Pak Arya memang baik banget, tambah sayang aku. Eh.

Melihat pengorbanan Pak Arya untuk Yuda kami berjanji akan menjadi orang yang lebih baik dan belajar lebih tekun.

Kami tidak sanggup melihat teman kami harus dipenjara, apalagi itu gara-gara membelaku.

Sekarang kami belajar dengan tekun, tidak ada lagi keributan di kelas.

"Pak Arya mau pulang? biar aku antar," tawarku sambil mengapit tangannya.

"Gak usah, Dara. Bapak mau naik angkot aja, lagian gak enak masa guru di antar muridnya," tolaknya sambil menjauhkan tanganku.

"Ya udah bapak pulang duluan." Pak Arya berlari kecil menghampiri Bu Ririn. Lalu, mereka pergi berdua.

Aku sebal kenapa Pak Arya nolak ajakanku malah memilih pulang sama Bu Ririn.

Aku menghentakkan kaki dengan perasaan dongkol.

"Sebel." Aku menggerutu.

"Kamu, kenapa. Ra?" tanya Yuda yang tiba-tiba menghampiriku

"Gak, Papa," jawabku singkat.

"Kamu cemburu ya, lihat Pak Arya sama Bu Ririn?"

Aku hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan Yuda.

"Ikut, aku yuk!" Yuda menarik tanganku. Lalu, menyuruhku naik motornya, aku hanya menurut.

"Kita mau kemana?" tanyaku saat motor melaju kencang. Aku mengeratkan pegangan.

Yuda mengajakku jalan-jalan menaiki motornya sesekali ia kami bercanda.

"Serukan?" tanyanya saat kami duduk di taman sambil menikmati es cream.

"Makasih, yah. Kamu udah hibur aku."

"Aku cinta sama kamu." Yuda menggenggam tanganku.

"Maaf, Yud. Aku mau kita kayak gini aja, temenan." Aku menekankan kata terakhir.

"Aku tahu, kamu sukanya sama Pak Arya, kan?  Tapi, kamu gak pantas, Pak Arya itu guru kita, apa kata orang nanti."

"Aku cinta sama kamu." Ungkapnya lagi.

"Maaf, Yud." Aku melepaskan genggaman tangannya dan beranjak pergi meninggalkan Yuda.

Aku tidak menyangka Yuda akan mengungkapkankan perasaannya padaku, jujur aku cuma menganggapnya teman tidak lebih. Karena aku hanya mencintai Pak Arya.

***
Pagi-pagi sekali aku bergegas untuk menjemput Pak Arya ke tempat kontrakannya, karena ini kesempatanku untuk bisa dekat dengannya. walau arah jalannya berbeda dan lumayan jauh, tetapi demi Pak Arya aku rela walau harus mengelilingi dunia.

Aku berdiri di depan kontrakan Pak Arya, terlihat Pak Arya keluar, ia melongo melihat aku pagi-pagi sudah ada di depan kontrakannya.

"Pagi, Pak." sapaku tersenyum manis.

"Dara." Raut wajahnya menampilkan keterkejutan.

"Yuk, berangkat!" Aku mengapit lengannya.

"Kamu gak udah repot-repot jemput Bapak, bapak bisa naik angkot."

"Gak, papa. Pak.

"Gak enak, Ra. Nanti apa kata murid yang lain, masa guru di jemput sama murid."

"Aku udah jauh-jauh loh, jemput Bapak kesini, Bapak tega." Aku memasang raut sedih.

Pak Arya tidak bisa menolak lagi, akhirnya dia mau aku antar ke sekolah.

"Makasih ya Dara," ucapnya setelah kami turun dari mobil.

"Iya, aku duluan." Aku beranjak pergi. Namun, langkahku terhenti, mendengar obrolan di belakang, aku menoleh. Ternyata Pak Rio.

"Oh. Jadi, gini setelah ditolak Bu Ririn. Kamu gaet muridmu!" ucap Pak Rio sengit.

"Maaf, Pak. Saya duluan." Pak Arya melengos begitu saja.

Aku pun segera pergi untuk memasuki kelas.

Hampir setiap hari aku mengantar jemput Pak Arya, tetapi enggak enak juga kami jadi buah bibir para siswa. Makanya aku berinisiatif menebus motor Pak Arya yang di gadaikannya untuk menebus Yuda sebulan yang lalu.

Sebelum aku mengantarkan motor Pak Arya, kendaraan beroda dua itu aku kasih pita warna pink di stang dan pinggiran joknya.

Aku sengaja meletakan motor Pak Arya di depan kontrakannya agar menjadi kejutan saat ia sampai.

"Ini, seperti motorku." Pak Arya meraba jok dan stang motor kesayangannya. Aku hanya memperhatikan dari kejauhan.

"Iya, Pak itu motor Bapak." Aku menghampirinya.

"Kenapa kamu tebus motor Bapak?" tanyanya heran.

Aku menjelaskan alasanku menebus motornya. Pak Arya hanya mangut-mangut mendengar penjelasanku. Setelah itu suasana menjadi hening, terasa canggung.

"Aku cinta sama Bapak." Aku memeluk Pak Arya.

"Dara!" Tiba-tiba suara bariton Papah mengagetkanku.

"Apa-apaan ini!" ucap Papah yang datang tiba-tiba.

"Jadi, benar kamu itu ada main sama anak saya!"

"Ayo,pulang." Papah menarik paksa tanganku.

Papah marah besar, Aku dimarahin habis-habisan. Setelah itu aku pergi dari rumah, tidak tahan dengan sikap Papah.

Apa yang salah jika aku mencintai Pak Arya?

Toh kita tidak bisa memilih jatuh cinta pada siapa?

Aku duduk dikursi pinggir jalan hanya diterangi rembulan malam.

"Andai saja, Abang masih hidup." Tak terasa air mataku jatuh membasahi poto yang aku pegang.

"Itukan foto teman Bapak." Pak Arya yang tiba-tiba datang. Lalu, pak Arya duduk disampingku.

"Ini foto Bang Satya, Abangku." Aku menyodorkan foto itu pada Pak Arya.

Pak Arya menatap lekat Foto itu. Lalu, ia menceritakan kenangan mereka berdua.

"Udah lama Bapak mencari keberadaan Satya, karena sebelum Satya meneruskan kuliahnya di jakarta kami pernah berjanji untuk sama-sama mengajar di kampung Bapak. Cita-cita kami ingin mendirikan sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu." Pandangan Pak Arya menerawang seakan ia mengulang kembali masa kebersamaannya bersama Bang Satya.

"Setelah lulus kuliah, Bang Satya kecelakaan dan meninggal." Mengingat itu semua itu, aku merasa sedih.

"Kamu, jangan sedih. Kamu mau kan meneruskan cita-cita Abangmu?"

Aku mengangguk.

"Oh, iya sekalian Bapak mau pamit."

"Pamit?"

"Bapak mau pulang kampung."

"Bapak gak bakal ngajar lagi dong? Aku gak akan mau belajar kalau bukan bapak yang ngajar."

"Dara, dengarkan Bapak." Pak Arya menatapku, "kamu harus belajar dengan giat, bukannya kamu udah janji mau mewujudkan cita-cita Abangmu?"

"Tapi, Pak."

"Siapapun yang mengajar sama saja, guru-guru yang lain sama-sama berjuang untuk menjadikan murid-muridnya berpendidikan dan bisa meneruskan bangsa."

"Bapak juga akan meneruskan kuliah agar cita-cita itu terwujud."

***
Aku belajar lebih giat, tekadku untuk mewujudkan cita-cita Abangku sekarang sudah terlaksana,

Aku dan Pak Arya dipertemukan kembali setelah kami sama-sama meneruskan pendidikan di tempat berbeda, sekarang Pak Arya sudah mendirikan sekolah di kampungnya dan akupun membantunya mengajar.

"Satya sekarang pasti bahagia disana, karena cita-citanya sekarang sudah terwujud." Pak Arya menatap awan sambil merangkulku. Lalu, ia mengecup keningku.

"Iya, dan aku juga bahagia bisa menjadi pendampingmu."

"I love you, Guru ganteng!" teriakku.

Pada akhirnya cintaku terbalaskan kepada Pak Arya.

Ternyata jodoh itu takkan kemana ya? Walau kami sempat terpisah. Namun, tidak sulit untuk Tuhan menyatukan kami kembali.

The End.

Post a Comment for "I Love You Guru Ganteng "