Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Kelam Remaja, Gara-gara Orang tua Suka Berantem Aku Jadi Seperti Ini!

Cerita Sedih, Remaja Kurang Kasih Sayang



Setiap pulang ke rumah aku selalu disambut oleh pertengkaran orang tua, tiada hari tanpa kegaduhan, membuatku tidak betah di rumah.

Hingga aku mencari kesenangan di luar sana, sering kali pergi clabing bersama teman-teman daripada di rumah, udah kek neraka.

"Aku kesel banget, setiap hari orang tuaku tuh ribut terus." Aku meluahkan isi hatiku pada Regar.

"Udah, mending kita senang-senang yuk!" Regar menarik tanganku.

"Kemana?" tanyaku sambil mengikuti langkahnya.

"Yuk naik, nih pakai helmnya." Regar menyodorkan helm saat kami telah sampai di hadapan motornya.

Aku menuruti perkataannya, sedetik kemudian kendaraan beroda dua itu melaju dengan cepat. Entah Regar mau membawaku kemana?

Angin malam membelai tubuhku hingga rasa dingin menusuk ke dalam tulang, aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang telah mencuri hatiku.

Setelah 20 menit menempuh perjalanan kami sampai di club malam tempat biasa aku kunjungi. Regar memang selalu tahu tempat yang cocok untuk keadaanku yang seperti ini, setidaknya ditempat ini aku bisa melupakan masalah yang menerpa walau sejenak.

"Kamu happy kan sekarang?" tanya Regar setelah kami minum win sambil berjoget ria bersama yang lainnya.

"Happy banget. Makasih sayang," jawabku sambil sempoyongan.

Kepala terasa pusing, entah berapa banyak minuman beralko*** itu aku tegak.
.

Perlahan aku membuka mata, kepala masih terasa berdenyut.

"Apa yang terjadi denganku?"Aku kaget bukan main mendapati tubuhku tanpa sehelai benang, hanya terbalut selimut.

Aku mencoba mengingat kejadian semalam, tanpa sadar air mataku meluruh tanpa disuruh, aku terisak dibalik selimut.

"Kamu kenapa, Sayang?" Regar mendekapku dari belakang.

Aku hanya terdiam.

"Kamu nyesel udah nyerahin mahkotamu untukku?" Regar bertanya lagi.

"Enggak, aku cuma takut setelah ini, kamu akan ninggalin aku."

"Enggak, Sayang. Aku janji gak akan ninggalin kamu."

Aku berbalik menghadapnya, "Janji?" tanyaku memastikan.

Regar mengangguk.

"Kamu juga harus janji, kalau kamu akan selalu setia."

"Iya, Sayang."

Aku segera beranjak dari tempat tidur memunguti pakaian yang berserakan dilantai. Lalu, berpamitan pada Regar.

"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Papi saat aku memasuki rumah.

"Kamu dari mana?" timpal Mami yang baru datang dari arah dapur.

Aku melenggang masuk melewati Papi dan Mami yang masih berdiri di dekat pintu, tanpa menjawab pertanyaan mereka.

"Lihat, anakmu. Gak ada sopan santun sama orang tua, di tanya bukannya jawab malah nyelonong aja!"

"Kamu gak becus didik anak!"

"Kok, kamu nyalahin aku?" jawab Mami tak terima.

"Iya, kalau kamu gak sibuk bekerja, pasti Jeni gak bakal seperti itu!"

Kepalaku malah semakin pengap mendengar mereka terus berantem. Tahu gitu gak usah pulang saja sekalian. Mereka egois tak pernah memikirkan perasaanku, kerjaannya ribut terus. Harusnya mereka introfeksi bukan saling menyalahkan. Mungkin lebih baik aku pergi saja dari rumah.

Aku keluar dari kamar sambil menggendong tas yang berisi pakaianku, aku muak tinggal di rumah ini.

"Kamu mau ke mana, Nak?"

"Aku mau pergi, aku gak tahan melihat kalian yang ribut terus."

"Mami mohon, jangan tinggalin Mami, Sayang." Mami menahan lenganku sambil terisak.

"Gak mih, keputusanku sudah bulat." Aku menepis tangan Mami segera berlalu pergi.

"Jeni!" Masih terdengar teriakan Mami memanggil namaku.

Aku tak menghiraukan teriakan Mami, tekadku sudah bulat. Walau aku masih bingung harus kemanakah aku sekarang.

Tempat satu-satunya yang akan aku tuju adalah kontrakan Regar, lelaki itu pasti takkan keberatan jika aku tinggal bersamanya untuk sementara waktu.

Setelah aku sampai di depan kontrakan Regar, aku segera mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban, aku terus berkali-kali tetapi, tetap tak ada jawaban.

Kuputuskan untuk menunggu Regar kembali, mungkin lelaki itu belum pulang.

Aku duduk menyenderkan kepala ke daun pintu, tak sengaja pintu itu terbuka, ternyata gak di kunci.

Aku memberanikan masuk kedalam, mencari Regar sambil sesekali memanggilnya.

Aku langsung mengecek kamarnya, siapa tahu Regar masih tidur.

Sesaat setelah pintu terbuka, aku langsung syok melihat pemandangan di dalamnya, Regar sedang bercumbu mesra bersama perempuan yang tak kukenal.

"Jeni!" Regar terlihat kaget melihat kedatanganku.

Hatiku bagai di tusuk belati tajam berkali-kali melihat lelaki yang aku cintai bercumbu mesra di depan mata kepalaku sendiri.

Aku segera berlari meninggalkan tempat itu, air mata meluruh mengiringi langkahku.

Kenapa kamu begitu tega.

Dasar cowok bajingan!

Padahal aku sudah menyerahkan segalanya tetapi, kenapa kamu begitu tega. Regar? Kenapa?

Arrrggghhh

Aku berteriak sekerasnya, meluapkan segala beban yang menghimpit dada.

Apa lebih baik aku mati saja, mungkin semua masalah akan selesai jika aku mengakhiri hidupku.

Aku bersiap menaiki pegangan jembatan yang terbuat dari besi.

Aku bersiap untuk melompat, tiba-tiba ada yang menarik tubuhku sampai aku terjatuh kebelakang.

"Astaghfirullah, apa yang kamu lakukan?" tanyanya.

"Jeni!"

Aku menoleh, melihat siapa orang yang sudah menggagalkanku untuk bunuh diri.

"Kamu Jeni, kan?"

Aku memperhatikan wajahnya, serasa kenal dengan perempuan ini tetapi, aku lupa.

"Aku Raya," ucapnya lagi.

Setelah ia mengucapkan namanya, barulah aku ingat kalau dia teman sekelas sewaktu sma.

"Kamu kenapa?" tanyanya lembut.

"Bukan urusanmu," jawabku ketus.

"Ya udah kalo kamu gak mau cerita, yuk aku anterin kamu pulang. Orang tuamu pasti nyariin."

"Udahlah, gak usah sok peduli deh."

"Ini udah malam loh. Jen. Apa kamu gak takut, ini tempat sepi loh?"

Aku berpikir sejenak, memang disini tempatnya sepi banget aku pun juga merasa merinding.

"Kalo kamu gak mau pulang, ya udah ikut aku saja, rumahku lumayan dekat kok dari sini."

"Ya udah kalau lo maksa!" jawabku masih dengan nada ketus.

****

"Kamu bisa istirahat di kamarku untuk sementara waktu, aku bisa tidur sama ibuku," jelasnya.

Aku memperhatikan kamar yang tak begitu luas terapi, sangat rapi. Di kamar ini hanya terdapat lemari berukutan sedang, meja belajar dan kursi. Tempatnya cukup nyaman.

Aku segera merebahkan tubuh yang kian lelah, karena seharian menangis. Ternyata menangis terlalu lama itu membuat cape.

Lamat-lamat suara adzan berkumandang. Namun, mata ini sungguh berat untuk kubuka.

"Jeni, solat dulu yuk!" terdengar suara lembut sambil menggoyangkan tubuhku pelan.

Entah kenapa aku tergerak untuk bangun, melihat siapa yang membangunkanku.

Ternyata suara lembut itu berasal dari Ibunya Raya, kenapa aku begitu tenang ya berada di sini.

"Kamu siap-siap ya, Ibu sama Raya tunggu di luar, kita solat shubuh berjamaah." ungkapnya sebelum ia melenggang keluar.

Aku segera menyucikan diri, walau sebenarnya aku sudah lupa tatak cara berwudhu dan melaksanakan solat, entah kapan terakhir kali aku melaksanakan kewajibanku itu.

Setelah selesai melaksanakan salat berjamaah bersama Raya dan Ibunya hatiku terasa adem.

"Raya kemana, Bu?" tanyaku kepada Ibunya Raya yang sedang berkutat dengan penggorengan.

Karena selesai salat subuh aku kembali tertidur, jam 8 baru bangun tetapi, tak kudapati Raya di rumah.

"Raya, nganter pesenan. Sebentar lagi dia balik kok."

"Assalamu'alaikum." terdengar ucapan salam dari luar.

"Wa'alaikum salam."

"Baru juga diomongin, tuh Raya udah nongol duluan," celetuk perempuan berjilbab panjang itu sambil mengangkat penggorengan dari atas kompor.

Aku hanya memperhatikannya, tangannya begitu lihai menyajikan nasi goreng yang tinggal di angkat ke wadah.

"Ya udah kita makan dulu, yuk!" ajaknya ia melenggang ke ruang makan sambil membawa nasi goreng yang telah ia sajikan.

Kami makan bersama walau yang tersaji hanya nasi goreng dan krupuk tetapi, terasa nikmat.

Entah kapan terakhir kali aku merasakan kehangatan sebuah keluarga yang damai seperti ini. Walau keluarga Raya hidup seadanya. Namun, di rumahnya selalu damai dan tentram tidak seperti rumahku yang setiap hari hanya kegaduhan yang tercipta.

Rasanya aku ingin tinggal disini berlama-lama. Apalagi kasih sayang yang Ibunya Raya berikan kepadaku itu lebih besar dari kasih sayang yang diberikan orang tuaku sendiri.

Andai orang tuaku sebaik Ibunya Raya, aku pasti enggak akan jadi begini.

"Kenapa kamu baik sama aku, padahal dulu waktu di sekolah aku sering buly kamu," ungkapku pada Raya saat kami mengobrol di depan teras.

"Itukan masa lalu, aku udah lupain semuanya kok."

"Kamu gak dendam sama aku?" tanyaku memastikan.

Karena mengingat perlakuanku kepada Raya waktu di sekolah itu keterlaluan, aku pernah mempermalukannya di depan semua murid sampai Raya menangis, bahkan aku selalu mencaci makinya karena ia culun.

"Buat apa aku dendam, gak ada gunanya. Yang telah lalu biarlah berlalu, kita lupakan semua yang sudah terjadi,kita fokuskan untuk memperbaiki diri. Jangan sampai masa lalu terulangi."

Aku terharu mendengar ucapannya, hatinya begitu baik dan tulus.

"Maafkan aku ya, Raya." Aku memeluknya erat.

"Pelukan kok gak ngajak-ngajak." canda Ibunya Raya sambil menghampiri kami.

"Makasih ya, Bu. Ya Ray." Kami berpelukan bersama.

Akhirnya aku menemukan rumah yang sebenarnya.

The End

Post a Comment for "Kisah Kelam Remaja, Gara-gara Orang tua Suka Berantem Aku Jadi Seperti Ini! "