Kisah Pilu! Aku Ikhlaskan Kekasihku untuk Sahabat
Cerita Cinta Baper Antara Sahabat dan Kekasih Hati
Tidak ada yang lebih menyedihkan ketika melihat sahabat terbaring lemah di tempat tidur. Rasanya aku lebih sakit melihat Mela yang mengerang kesakitan.
Jika boleh meminta, aku rela menggantikan posisinya, supaya dia tidak merasakan kesakitan lagi.
Air bening meleleh membasahi pipi, meratapi gadis yang dulu paling aktif di sekolah sekarang dia tidak berdaya.
Sudah seminggu Mela dirawat, karena penyakit yang dideritanya semakin parah, ia mempunyai penyakit leukemia.
Pulang sekolah aku selalu menyempatkan waktu, untuk menjenguknya di rumah sakit. Memberi ia semangat dan suport.
Seperti hari ini, aku tidak datang sendiri, tetapi di antar oleh Rehan. Sekalian Rehan menjenguk Mela juga.
“Kamu, harus bertahan ya, Mel. Kamu pasti kuat!” Aku memberi semangat kepadanya.
Mela hanya tersenyum menanggapinya.
“Iya, Mel. Aku percaya kamu wanita tangguh,” Kak Rehan mengepalkan tangannya ke udara, memberi semangat kepada Mela.
“Makasih, ya. Kak.” Mela tersenyum.
“Sama-sama.”
“Gimana sekolahnya?” tanya Mela.
“Gak ada kamu, rasanya sepi.”
“Kan masih ada temen-temen yang lain.”
“Iya, sih. Tapi, beda.”
Di sela-sela kami mengobrol, Kak Rehan ijin ke toilet. Kami melanjutkan obrolan yang sempat terhenti.
Setiap aku datang, Mela. Selalu bertanya tentang pelajaran, mungkin ia rindu kembali ke sekolah. Semangat gadis itu dalam belajar tidak bisa diragukan lagi.
Selagi ia masih kuat, pasti akan menyempatkan belajar.
“Oh, iya. Makasih yah. Kamu udah ajak Kak Rehan jenguk aku.” Mela tersenyum malu.
“Itu, kemauan dia sendiri. Kok, Mel,” ucapku jujur.
“Kak Rehan memang baik yah, udah baik ganteng pula,” celetuk Mela.
“Kamu suka, ya. Sama Kak Rehan?” Godaku.
Pipi Mela bersemu merah bak kepiting rebus saat aku menggodanya.
“Hayo, ngaku?” desakku.
“Sttt. Jangan bilang-bilang.” Mela menempelkan telunjuknya ke bibirku.
Itu artinya Mela, menyukai Kak Rehan. Padahal Kak Rehan adalah kekasihku, memang Mela belum tahu hubunganku dengan Kak Rehan karena kami baru satu minggu jadian. Tetapi, bagaimana kalau dia tahu kalau aku berpacaran sama Kak Rehan.
Sebaiknya aku tidak memberi tahu dulu, hubunganku dengan Kak Rehan.
Hatiku dilanda resah gelisah mendengar pengakuan Mela, bahwa dia juga sudah lama mengagumi Ka Rehan bahkan ia mencintainya.
“Asyik bener ngobrolnya,” celetuk Rehan yang tiba-tiba datang.
“Lagi ngobrolin apa, Kok, serius banget?”
“Ngobrolin, aku ya?” timpalnya lagi.
“Enggak, geer banget.” Spontan aku menjawab.
“Aku becanda, kali.” Kak Rehan tertawa.
Mela terus memperhatikan tingkah laku Kak Rehan, ia ikut tertawa dengan candaannya.
Baru kali ini aku melihat Mela tertawa lepas, karena semenjak ia masuk rumah sakit, semangatnya hilang.
“Permisi, maaf ya ade-ade batas jenguk nya sudah habis, pasien harus istirahat,” ucap suster yang baru masuk.
“Iya, Sus,” jawab Rehan.
“Ya udah, Mel. Kami pamit dulu.” Aku memeluk Mela sebentar.
“Ya udah, kalian hati-hati ya.”
Sepanjang koridor rumah sakit, hatiku resah gelisah tak menentu, pengakuan Mela terngiang-ngiang di telinga.
“Nayla!” Kak Rehan mengibas-ngibaskan tangannya didepan mukaku.
“Eh, iya.”
“Kamu, kenapa Nay? Kok, diem aja dari tadi?” tanya Rehan setelah kami duduk bersebelahan di mobil.
“Enggak papa, Kok.” Aku membetulkan sabuk pengaman.
“Bener?”
Aku mengangguk.
“Kalo ada apa-apa kamu cerita sama aku.” Rehan terlihat kwatir.
“Iya, ya udah jalan. Nanti, keburu gelap.” Aku mengalihkan pembicaraan, karena tidak mau Kak Rehan tahu keresahanku.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam, menatap kosong ke luar jendela, melihat lalu lalang motor dan mobil yang memenuhi jalanan.
Keesokan harinya aku menyuruh Kak Rehan untuk menggantikanku menjenguk Mela sendirian, karena Mela terlihat lebih semangat ketika ada Kak Rehan dibanding ada aku.
Awalnya Kak Rehan menolak. Namun, setelah aku bujuk Kak Rehan mau juga.
Diam-diam aku mengikuti Kak Rehan dari belakang sampai ke rumah sakit, sesampainya di depan ruangan Mela di rawat, aku berhenti, mengintipnya dari luar.
Terlihat Mela begitu semangat ketika Kak Rehan datang, senyum manisnya mengembang menyambut lelaki yang aku cintai.
Kata Mamahnya Mela, semakin hari Mela semakin membaik. Sekarang ia tidak pernah menolak meminum obat, kalau biasanya gadis itu ogah-ogahan ketika dikasih obat, karena ia selalu berkata “Percuma, aku minum obat setiap hari, toh hidupku gak lama lagi.”
Memang Dokter sudah memponis kalau hidup Mela tidak akan lama lagi, tetapi ketika ada yang bisa membuatnya bangkit dan kembali semangat, kemungkinan umurnya akan lebih panjang.
Satu-satunya yang harus aku lakukan adalah merelakan Kak Rehan untuk Mela, agar sahabatku itu bisa hidup lebih lama.
Memang tidak ada yang tahu kapan kematian itu menjemput karena itu hak progreatif Allah. Namun, sebisa mungkin aku akan melakukan apapun untuk membuat Mela bahagia. Walau pada akhirnya aku harus merelakan Kak Rehan.
Aku tidak akan sanggup kehilangan sahabatku satu-satunya, ia adalah sahabat terbaikku.
**
Siang ini aku janjian dengan Kak Rehan untuk ketemuan di cafe dekat sekolah.
“Kak, jika aku minta sesuatu apa Kakak akan ngabulin?” Aku bicara sambil mengaduk jus jeruk.
“Ya, tentu. Selagi Kakak mampu, kenapa enggak,” jawab Kak Rehan santai.
“Aku---“ ucapku menggantung. Sungguh sulit untuk mengatakannya.
“Kenapa?” tanya Kak Rehan penasaran.
“Aku ingin ... Kaka, menjadi kekasih Mela.”
Kak Rehan yang sedang minum langsung tersedak karena mendengar apa yang aku ucapkan.
“Apa, aku enggak salah denger?” Kak Rehan mengusap bibirnya yang basah.
“Kenapa kamu bicara seperti itu, aku kekasihmu, Nay. Gak mungkin aku jadi kekasih Mela.”
Aku hanya menunduk tidak mampu menatap matanya. Sebenarnya sulit untukku merelakan kekasih yang sangat aku cintai harus menjalin hubungan dengan Mela sahabat aku sendiri. Tetapi, menurutku ini yang terbaik. Walau hatiku terasa sakit.
“Nay, please! Jangan lakukan ini.” Kak Rehan menarik tanganku. Menggenggamnya erat.
Tak terasa buliran bening yang sedari tadi kutahan meluncur juga.
“Mela, lebih membutuhkan Kaka dibanding aku.” Aku melepaskan genggaman tangannya.
“Tapi, aku gak bisa, Nay. Satu-satunya orang yang aku cinta hanya kamu.” Kak Rehan kukuh dengan pendiriannya.
Aku memohon dengan tatapan mata, “Demi, aku.”
Kak Rehan memelukku erat, seakan tidak rela aku pergi.
“Aku titip, Mela ya Kak. Tolong bahagiakan dia,” bisikku di telinganya.
Aku membalas pelukannya, serasa ini adalah pelukan terakhirku dengan Kak Rehan.
Entahlah dari kemarin perasaanku tidak enak, seakan ada yang akan terjadi padaku, makannya aku cepat mengutarakan keinginanku pada Kak Rehan sebelum terlambat.
Aku melepaskan pelukan Kak Rehan. Lalu, bangkit berdiri meninggalkan kekasihku.
Aku segera meninggalkan cafe. Lalu, berlari menerobos jalan, pandanganku sedikit mengabur karena buliran air bening yang terus mengalir membasahi pipi tanpa bisa berhenti.
“Nayla! Awas!” teriak seseorang dari belakang.
“Aaaaaaaah.” Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Kurasakan tubuhku melayang. Lalu, terjatuh membentur aspal. Kesadaranku mulai menghilang.
“Nay, Nayla, bangun.” Samar-samar aku mendengar Kak Rehan berbicara.
Perlahan aku membuka mata, kepalaku sudah ada di pangkuan Kak Rehan.
“Tol---long, ti---tip, Mela.” ucapku terbata-bata.
Napasku kian sesak, aku merasakan sakit yang luar biasa sebelum akhirnya pandanganku menjadi gelap.
The End
Tidak ada yang lebih menyedihkan ketika melihat sahabat terbaring lemah di tempat tidur. Rasanya aku lebih sakit melihat Mela yang mengerang kesakitan.
Jika boleh meminta, aku rela menggantikan posisinya, supaya dia tidak merasakan kesakitan lagi.
Air bening meleleh membasahi pipi, meratapi gadis yang dulu paling aktif di sekolah sekarang dia tidak berdaya.
Sudah seminggu Mela dirawat, karena penyakit yang dideritanya semakin parah, ia mempunyai penyakit leukemia.
Pulang sekolah aku selalu menyempatkan waktu, untuk menjenguknya di rumah sakit. Memberi ia semangat dan suport.
Seperti hari ini, aku tidak datang sendiri, tetapi di antar oleh Rehan. Sekalian Rehan menjenguk Mela juga.
“Kamu, harus bertahan ya, Mel. Kamu pasti kuat!” Aku memberi semangat kepadanya.
Mela hanya tersenyum menanggapinya.
“Iya, Mel. Aku percaya kamu wanita tangguh,” Kak Rehan mengepalkan tangannya ke udara, memberi semangat kepada Mela.
“Makasih, ya. Kak.” Mela tersenyum.
“Sama-sama.”
“Gimana sekolahnya?” tanya Mela.
“Gak ada kamu, rasanya sepi.”
“Kan masih ada temen-temen yang lain.”
“Iya, sih. Tapi, beda.”
Di sela-sela kami mengobrol, Kak Rehan ijin ke toilet. Kami melanjutkan obrolan yang sempat terhenti.
Setiap aku datang, Mela. Selalu bertanya tentang pelajaran, mungkin ia rindu kembali ke sekolah. Semangat gadis itu dalam belajar tidak bisa diragukan lagi.
Selagi ia masih kuat, pasti akan menyempatkan belajar.
“Oh, iya. Makasih yah. Kamu udah ajak Kak Rehan jenguk aku.” Mela tersenyum malu.
“Itu, kemauan dia sendiri. Kok, Mel,” ucapku jujur.
“Kak Rehan memang baik yah, udah baik ganteng pula,” celetuk Mela.
“Kamu suka, ya. Sama Kak Rehan?” Godaku.
Pipi Mela bersemu merah bak kepiting rebus saat aku menggodanya.
“Hayo, ngaku?” desakku.
“Sttt. Jangan bilang-bilang.” Mela menempelkan telunjuknya ke bibirku.
Itu artinya Mela, menyukai Kak Rehan. Padahal Kak Rehan adalah kekasihku, memang Mela belum tahu hubunganku dengan Kak Rehan karena kami baru satu minggu jadian. Tetapi, bagaimana kalau dia tahu kalau aku berpacaran sama Kak Rehan.
Sebaiknya aku tidak memberi tahu dulu, hubunganku dengan Kak Rehan.
Hatiku dilanda resah gelisah mendengar pengakuan Mela, bahwa dia juga sudah lama mengagumi Ka Rehan bahkan ia mencintainya.
“Asyik bener ngobrolnya,” celetuk Rehan yang tiba-tiba datang.
“Lagi ngobrolin apa, Kok, serius banget?”
“Ngobrolin, aku ya?” timpalnya lagi.
“Enggak, geer banget.” Spontan aku menjawab.
“Aku becanda, kali.” Kak Rehan tertawa.
Mela terus memperhatikan tingkah laku Kak Rehan, ia ikut tertawa dengan candaannya.
Baru kali ini aku melihat Mela tertawa lepas, karena semenjak ia masuk rumah sakit, semangatnya hilang.
“Permisi, maaf ya ade-ade batas jenguk nya sudah habis, pasien harus istirahat,” ucap suster yang baru masuk.
“Iya, Sus,” jawab Rehan.
“Ya udah, Mel. Kami pamit dulu.” Aku memeluk Mela sebentar.
“Ya udah, kalian hati-hati ya.”
Sepanjang koridor rumah sakit, hatiku resah gelisah tak menentu, pengakuan Mela terngiang-ngiang di telinga.
“Nayla!” Kak Rehan mengibas-ngibaskan tangannya didepan mukaku.
“Eh, iya.”
“Kamu, kenapa Nay? Kok, diem aja dari tadi?” tanya Rehan setelah kami duduk bersebelahan di mobil.
“Enggak papa, Kok.” Aku membetulkan sabuk pengaman.
“Bener?”
Aku mengangguk.
“Kalo ada apa-apa kamu cerita sama aku.” Rehan terlihat kwatir.
“Iya, ya udah jalan. Nanti, keburu gelap.” Aku mengalihkan pembicaraan, karena tidak mau Kak Rehan tahu keresahanku.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam, menatap kosong ke luar jendela, melihat lalu lalang motor dan mobil yang memenuhi jalanan.
Keesokan harinya aku menyuruh Kak Rehan untuk menggantikanku menjenguk Mela sendirian, karena Mela terlihat lebih semangat ketika ada Kak Rehan dibanding ada aku.
Awalnya Kak Rehan menolak. Namun, setelah aku bujuk Kak Rehan mau juga.
Diam-diam aku mengikuti Kak Rehan dari belakang sampai ke rumah sakit, sesampainya di depan ruangan Mela di rawat, aku berhenti, mengintipnya dari luar.
Terlihat Mela begitu semangat ketika Kak Rehan datang, senyum manisnya mengembang menyambut lelaki yang aku cintai.
Kata Mamahnya Mela, semakin hari Mela semakin membaik. Sekarang ia tidak pernah menolak meminum obat, kalau biasanya gadis itu ogah-ogahan ketika dikasih obat, karena ia selalu berkata “Percuma, aku minum obat setiap hari, toh hidupku gak lama lagi.”
Memang Dokter sudah memponis kalau hidup Mela tidak akan lama lagi, tetapi ketika ada yang bisa membuatnya bangkit dan kembali semangat, kemungkinan umurnya akan lebih panjang.
Satu-satunya yang harus aku lakukan adalah merelakan Kak Rehan untuk Mela, agar sahabatku itu bisa hidup lebih lama.
Memang tidak ada yang tahu kapan kematian itu menjemput karena itu hak progreatif Allah. Namun, sebisa mungkin aku akan melakukan apapun untuk membuat Mela bahagia. Walau pada akhirnya aku harus merelakan Kak Rehan.
Aku tidak akan sanggup kehilangan sahabatku satu-satunya, ia adalah sahabat terbaikku.
**
Siang ini aku janjian dengan Kak Rehan untuk ketemuan di cafe dekat sekolah.
“Kak, jika aku minta sesuatu apa Kakak akan ngabulin?” Aku bicara sambil mengaduk jus jeruk.
“Ya, tentu. Selagi Kakak mampu, kenapa enggak,” jawab Kak Rehan santai.
“Aku---“ ucapku menggantung. Sungguh sulit untuk mengatakannya.
“Kenapa?” tanya Kak Rehan penasaran.
“Aku ingin ... Kaka, menjadi kekasih Mela.”
Kak Rehan yang sedang minum langsung tersedak karena mendengar apa yang aku ucapkan.
“Apa, aku enggak salah denger?” Kak Rehan mengusap bibirnya yang basah.
“Kenapa kamu bicara seperti itu, aku kekasihmu, Nay. Gak mungkin aku jadi kekasih Mela.”
Aku hanya menunduk tidak mampu menatap matanya. Sebenarnya sulit untukku merelakan kekasih yang sangat aku cintai harus menjalin hubungan dengan Mela sahabat aku sendiri. Tetapi, menurutku ini yang terbaik. Walau hatiku terasa sakit.
“Nay, please! Jangan lakukan ini.” Kak Rehan menarik tanganku. Menggenggamnya erat.
Tak terasa buliran bening yang sedari tadi kutahan meluncur juga.
“Mela, lebih membutuhkan Kaka dibanding aku.” Aku melepaskan genggaman tangannya.
“Tapi, aku gak bisa, Nay. Satu-satunya orang yang aku cinta hanya kamu.” Kak Rehan kukuh dengan pendiriannya.
Aku memohon dengan tatapan mata, “Demi, aku.”
Kak Rehan memelukku erat, seakan tidak rela aku pergi.
“Aku titip, Mela ya Kak. Tolong bahagiakan dia,” bisikku di telinganya.
Aku membalas pelukannya, serasa ini adalah pelukan terakhirku dengan Kak Rehan.
Entahlah dari kemarin perasaanku tidak enak, seakan ada yang akan terjadi padaku, makannya aku cepat mengutarakan keinginanku pada Kak Rehan sebelum terlambat.
Aku melepaskan pelukan Kak Rehan. Lalu, bangkit berdiri meninggalkan kekasihku.
Aku segera meninggalkan cafe. Lalu, berlari menerobos jalan, pandanganku sedikit mengabur karena buliran air bening yang terus mengalir membasahi pipi tanpa bisa berhenti.
“Nayla! Awas!” teriak seseorang dari belakang.
“Aaaaaaaah.” Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Kurasakan tubuhku melayang. Lalu, terjatuh membentur aspal. Kesadaranku mulai menghilang.
“Nay, Nayla, bangun.” Samar-samar aku mendengar Kak Rehan berbicara.
Perlahan aku membuka mata, kepalaku sudah ada di pangkuan Kak Rehan.
“Tol---long, ti---tip, Mela.” ucapku terbata-bata.
Napasku kian sesak, aku merasakan sakit yang luar biasa sebelum akhirnya pandanganku menjadi gelap.
The End
Post a Comment for "Kisah Pilu! Aku Ikhlaskan Kekasihku untuk Sahabat"