Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Kelam Mama Muda, Aku Pertahankan Rumah Tangga demi Anak Walau Tersiksa

Kumpulan Cerpen Cinta Mama Muda Sedih 


"Maaf. Mas, aku lagi gak enak badan," tolak Hasna.

"Aku gak mau tahu, pokonya kamu harus ngelayanin aku sekarang juga!" Bentaknya.

Belum sempat Hasna menjawab. Danang sudah berada di atas tubuhnya, dengan beringas ia menyalurkan hasratnya kepada Hasna wanita yang sedang terbaring lemah di tempat tidur.

Danang tidak peduli walaupun Hasna merintih kesakitan, sebelum ia puas lelaki itu terus melancarkan aksinya, sampai-sampai wanita itu terkapar tak berdaya.

Hasna hanya bisa menangis dalam diam, ia tak kuasa melawan.

Setiap hari siksaan demi siksaan di terima demi mempertahankan rumah tangganya, Hasna bukan tidak mau melepaskan lelaki bajingan itu, tetapi ia tidak ingin nasib anaknya serupa dengannya. Wanita itu mempunyai masa lalu yang kelam.

Karena perceraian orang tuanya, Hasna harus tinggal bersama paman dan bibinya. Karena setelah mereka bercerai Ibunya Hasna pergi merantau, sedangkan Ayahnya menikah lagi dan mempunyai keluarga baru pada akhirnya meninggalkan Hasna. Sejak perceraian kedua orang tuanya Hasna di titipkan kepada paman dan bibinya.

Paman dan Bibi Hasna memperlakukan Hanna seperti pembantu bahkan tak jarang ia mendapatkan penyiksaan dari bibinya. Yang lebih mengenaskan Hasna dilecehkan oleh pamannya sendiri.

Maka dari itu Hasna bertekad akan selalu mempertahankan rumah tangganya.

"Hasna, mana makanannya!" teriak Danang.

"Iya sebentar. Mas!"

Hasna tergopoh-gopoh dari dapur, membawa nasi goreng yang masih mengepul. Karena jalannya terburu-buru wanita itu tersandung, nasi goreng itu tumpah mengenai tangan suaminya.

"Astaga! Kamu bisa kerja gak sih!"

"Dasar wanita sia***!

"Gak becus!"

Rentetan caci maki keluar dari mulut Danang, semua itu sudah terbiasa di dengar oleh Hasna.

"Sini, kamu." Danang menarik lengan Hasna dengan kasar.

"Ampun, Mas."

Danang mendorong Hasna hingga tersungkur ke lantai, ia melepaskan ikat pinggang. Lalu melayangkannya ke tubuh Hasna.

Wanita 25 tahun itu hanya bisa terisak menahan rasa sakit akibat cambukan dari suaminya. Ia menggigit bibir bawah agar suaranya tidak keluar. Hasna tidak ingin anaknya mendengar jeritannya.

***

Hidup Hasna sepenuhnya bergantung kepada Danang, makanya ia selalu berusaha mempertahankan pernikahannya agar anaknya bisa sekolah tinggi dan hidup enak. Ia tidak ingin anaknya sengsara.

Karena tidak jarang Hasna melihat pasangan yang bercerai yang jadi korban pasti anaknya.

Hasna tidak mau itu terjadi pada Aldo--- Putra semata wayangnya.

"Hasna!" teriak Danang.

Hasna yang sedang memakaikan baju seragam pada Aldo langsung terhenti, ia pun bergegas menghampiri suaminya.

"Ada, apa. Mas?"

"Mana Aldo?" tanya Danang, wajahnya merah padam.

"Itu lagi siap-siap mau sekolah."

Mas Danang melangkah dengan cepat, aku mengekorinya di belakang, takut Aldo di apa-apain, karena sedikit saja melakukan kesalahan Mas Danang pasti mumukulinya.

"Dasar anak sia***!" Mas Danang menarik paksa Aldo yang sedang duduk di depan TV, hingga anak itu menjerit kesakitan.

"Mas, hentikan!" jeritku.

Aku tidak tega melihat Mas Danang memukuli Aldo tanpa ampun, sekuat tenaga aku menghalangi tubuh mungil yang terus menjerit.

"Awas, kau. Biarkan aku memberi pelajaran anak ini!" Mas Danang berusaha menyingkirkan tubuhku hingga terjungkal, aku bangkit. Lalu, mendorong Mas Danang hingga sedikit menjauh, aku segera memeluk Aldo dengan erat.

Entah setan apa yang merasuki tubuhnya hingga ia membabi buta memukuli punggungku yang menghalangi Aldo.

Rasa sakit di punggungku tidak sebanding dengan sakit hati ketika melihat putra semata wayangku disiksa sedemikian rupa, entah kesalahan apa yang membuat Mas Danang semurka itu.

Mas Danang seperti kerasukan.

"Bunda, kenapa Papah jahat sama kita?" tanya Aldo setelah Mas Danang puas memukuli kami dan berlalu pergi.

Aku tidak mampu menjawab pertanyaan Aldo, apa yang harus aku katakan pada Aldo?

"Kita pergi saja dari sini, Bunda."

"Aku tidak mau disini terus."

Rengekan demi rengekan terus keluar dari mulut mungilnya, Aku memeluk tubuh Aldo dengan erat, mencoba menenangkannya.

***

"Hasna! Buka pintu!" Samar-samar terdengar suara Danang memanggil disertai gedoran.

Aku yang sedang terlelap langsung terbangun, kulihat jam di dinding menunjukan pukul 01:00 dini hari, di sampingku Aldo masih terlelap, pelan-pelan aku turun dari ranjang takut Aldo terbangun, mungkin tadi aku ketiduran pas ngelonin Aldo.

Setelah menutup pintu kamar Aldo dengan hati-hati, aku bergegas untuk membuka pintu utama.

"Lama banget sih!" bentak Danang setelah pintu terbuka. Bau alkohol menyeruak, menusuk indra penciuman.

Mas Danang sempoyongan, ia merangkul seorang wanita seksi berjalan masuk ke dalam rumah, aku hanya menatap punggung dua sejoli itu memasuki kamar.

Melihat Mas Danang membawa wanita lain, dadaku begitu sesak, air mata melompat tanpa dikomando.

Aku melangkah cepat untuk memasuki kamar Aldo, terdengar suara desahan, dari kamar itu, aku menoleh ke arah suara, berhenti sejenak di depan kamar yang pintunya tidak tertutup rapat. Hatiku bagai di tusuk belati tajam melihat suamiku sendiri sedang ber***** mesra dengan wanita lain.

Rasanya lebih sakit dikhianati dibandingkan dicambuk berkali-kali.

Aku memalingkan wajah dari pandangan yang sangat menjijikan, cepat-cepat berlalu pergi daripada dadaku semakin sesak.

"Ya Allah, kenapa cobaan ini sangat berat." Aku terisak di kamar mandi. Meluapkan segala amarah dengan menumpahkan air mata.

Cairan bening itu tak kunjung berhenti terus menganak sungai.

"Aku harus, kuat. Demi Aldo!" Mencoba memberi semangat pada diri sendiri.

Aku menutup mata dan telinga atas semua perlakuan Mas Danang demi masa depan Aldo. Namun, siang itu Mas Danang mengucapkan kata yang tidak pernah kuharapkan.

"Aku, akan ceraikan kamu!" ucapnya dengan tegas.

"Aku, tidak mau cerai sama kamu. Mas!" Aku memohon pada Mas Danang agar menarik kata-katanya.

"Keputusanku sudah bulat, sekarang juga kamu angkat kaki dari rumah ini, bawa anakmu sekalian."

"Ini, uang untuk kalian, jangan pernah datang lagi kesini!" Mas Danang melempar amplok berwarna kuning kehadapanku.

"Kenapa kamu tega banget, Mas." Linangan air mata menetes tanpa disuruh.

***
Hujan turun membasahi bumi, semesta seakan merasakan apa yang aku rasakan, aku cepat-cepat berteduh menghindari kucuran yang semakin deras.

"Kamu yang sabar ya, Sayang." Aku mengelus kepala Aldo.

Berteduh di depan toko yang sudah tertutup rapat, mengamati sekeliling, suasana sepi. Karena ini sudah larut malam, aku bingung harus tidur dimana apalagi aku tidak sendiri, kasian sekali Aldo.

"Bunda, aku ngantuk," ucap Aldo sambil menguap.

"Ya udah kita duduk disana." Aku membawa Aldo ke pojok. Merebahkan tubuh Aldo dipangkuan, aku menutupi tubuhnya pakai mantel yang kupakai sambil mengelus kepalanya pelan.

Aku menatap Aldo yang mulai terlelap, begitu tenang dan damai.

"Mba ... mba ...." Samar-samar aku mendengar suara orang memanggil.

Perlahan aku membuka mata, hari sudah mulai terang.

"Kenapa Mba, tidur disini?"

"Iya, kemarin saya kemaleman. Jadi, numpang tidur disini. Maaf ya, Mba."

"Iya, tidak apa-apa."

"Oh, iya. Disini ada kontrakan gak?"

Wanita separuh baya itu terlihat berpikir.

"Ada, yuk, ikut saya."

Aku segera membangunkan Aldo yang masih terlelap. Lalu, mengikuti wanita itu melewati gang-gang kecil. Sepanjang perjalanan wanita itu terus mengoceh seakan sudah mengenal aku lama. Ia pun memperkenalkan namanya.

"Assalamu'alaikum, mpok!" teriak Mba Erni, setelah kami sampai didepan rumah sederhana.

"Wa'alaikum salam," Wanita tua menghampiri kami.

Mba Erni menjelaskan tujuan kami datang kesini. Lalu, setelah itu Mba Erni pamit. Tinggalah aku, Aldo dan Mpok Narti pemilik kontrakan. Wanita itu membawaku ke rumah sebelahnya.

Setelah Mpok Narti membuka kunci ia mempersilakanku untuk melihat-lihat kontrakannya, ukurannya 3x6 kata pemiliknya. Ruang tamu yang berada di pojok kiri, ada dua buah kursi kecil diseberangnya kursi panjang. Lanjut aku menelusuri kamar tidur lengkap dengan kamar mandi. Lalu, di sebelah kamar terdapat dapur yang sudah ada perlengkapannya. Kayaknya akan nyaman kalau tinggal disini.

"Gak, papa kan kita tinggal disini?" Aku mensejajarkan tubuhku dengan Aldo.

Anak itu hanya mengangguk.

Setelah aku tinggal di kontrakan, aku tidak pernah merasakan sakit karena cambukan, atau mendengar teriakan Mas Danang. Rasanya tenang.

Walau makanan yang kami makan setiap hari sederhana. Namun, aku merasa bahagia, Aldo juga mulai beradaptasi dengan lingkungan. Ia selalu terlihat ceria karena mempunyai banyak teman.

The End

Post a Comment for "Cerita Kelam Mama Muda, Aku Pertahankan Rumah Tangga demi Anak Walau Tersiksa"