Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Penantian Seorang Istri! Menunggu Sentuhanmu

Cerita Pilu Seorang Istri, Menantikan Sentuhan




"Kenapa, Mas. Tidak pernah mau menyentuhku?" tanyaku dengan air mata berlinang dan tubuh bergetar.

"Mas, cuma belum siap aja, Sayang." Mas Fahmi memegang bahuku.

"Yakin, cuma karena itu?" Aku menatapnya sinis.


Mas Fahmi terdiam seperti ada yang ia sembunyikan, rasanya tidak masuk akal cuma karena alasan tidak siap ia enggan menyentuhku, pasalnya sudah setahun lebih kami menikah, tetapi Mas Fahmi enggan untuk menyentuhku.


Entah apa yang kurang dariku, aku selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas Fahmi, bahkan segala cara sudah aku lakukan. Seperti malam itu, sebelum Mas Fahmi pulang kerja, aku berhias secantik mungkin bahkan aku bela-belain beli lingerie untuk mencuri perhatiannya, walau aku risih memakainya, tetapi demi Mas Fahmi aku lakukan juga.


Sayangnya pengorbananku sia-siakan, Mas Fahmi tidak tertarik sama sekali bahkan ia seperti jijik melihatku.

Tanpa terasa air mataku berlinang membasahi pipi.

"Rasanya aku sudah gak kuat, Ya Allah!"

Sebenarnya Mas Fahmi suami yang baik, ia selalu melengkapi kebutuhanku, kalau masalah materi kita terbilang cukup. Mas Fahmi menafkahi lahiriyah dengan maksimal, hanya satu kekurangannya ia belum pernah memberiku nafkah batin.

***

Seminggu sekali aku berkunjung ke rumah Ibu untuk menghilangkan kebosanan, sekalian aku bantu-bantu Ibu membuat ketring rumahan untuk di jual.

"Kamu sudah setahun menikah, loh. Tapi, kamu belum juga hamil, Ibu gak sabar pengen nimang cucu," ucap Ibu sambil membalikan masakannya di wajan.

Bukan aku tidak mau memberi cucu kepadamu Ibu, tetapi bagaimana aku bisa hamil kalo suamiku sendiri tak pernah menyentuhku.

Aku tidak pernah bercerita tentang masalahku yang tidak pernah disentuh oleh Mas Fahmi kepada siapapun termasuk Ibu, karena aku tidak mau rumah tanggaku hancur. Selagi aku masih bisa bersabar menanti sentuhannya aku akan terus menjaga masalah rumah tanggaku.

"Mungkin Fatimah, belum dikasih kepercayaan saja sama Allah, Bu." Hiburku pada Ibu. Walau sebenarnya hatiku sangat teriris mendengar permintaan Ibu.

"Ibu yang sabar yah." Sebenarnya kata-kata ini untuk diriku sendiri.

"Iya, Nak. Ibu selalu berdoa semoga kamu cepat-cepat dikasih momongan, biar rumah enggak sepi."

"Aamiin, makasih, ya. Bu." Aku memeluknya, hanya Ibu satu-satunya yang bisa membuatku tenang, ia tempatku bercerita segala hal.

"Lepas, atuh neng, Ibu kan lagi menggoreng."

"Hhehe, iya. Bu." Aku nyengir kuda.

"Oh, iya. Kok suami kamu udah lama ya enggak kesini?" tanyanya


"Mas Fahmi lagi sibuk, Bu."

Memang akhir-akhir ini Mas Fahmi sering pulang telat, katanya banyak kerjaan di kantor. Entah itu cuma alasan untuk menghindar dariku.

"Oh, begitu ya. Ya sudah sampaikan saja salam Ibu untuk suamimu."

"Iya, Bu. Ntar deh aku sampaikan."

Saat kami asyik mengobrol tiba-tiba handphoneku berdering menandakan ada panggilan masuk, aku segera melihat siapa yang menelpon.

Ternyata Mas Fahmi, aku langsung menggeser tombol hijau. Lalu, mengucapkan salam.

"Kamu, masih di rumah Ibu?"

"Iya, Mas. Tumben kamu udah pulang?"

"Ini udah waktunya atuh, Neng." Mendengar jawabannya aku melirik jam, ternyata benar sudah jam 17:10.

"Hhhehe, Iya. Ya udah aku pulang sekarang."


"Mau aku jemput?"

"Gak usah, Mas. Aku pulang sendiri aja, kamu kan baru pulang kerja. Pastinya cape."

"Gak, papa. Kok."
"Udah, gak usah, Mas."

"Ya sudah, hati-hati."

Aku langsung bersiap-siap, memasukan handphone ke saku baju. Lalu, berpamitan pada Ibu.

Aku menunggu ojek lewat. Namun, tidak ada satupun kendaraan yang lewat.

Aku segera mengeluarkan benda pipih untuk memesan ojek online, karena kalau terlalu lama menunggu kendaraan lewat takutnya kemalaman. 

Layar handphone masih menyala, ternyata tadi aku tidak sempat mematikan sambungan telpon dengan Mas Fahmi, sedetik kemudian aku berniat memencet tombol merah, jariku terhenti, saat mendengar desahan di seberang sana. Aku tidak kuat mendengarnya, tanpa menunggu lama segera aku mematikan sambungan.

"Apa mungkin ini penyebab, Mas Fahmi tidak mau menyentuhku?" gumamku.

Air mataku meluruh tanpa disuruh, betapa hatiku terasa perih mendengar suara desa*** itu.

Betapa tega kamu Mas mempermainkanku seperti ini, selama kami menikah perasaan tidak ada yang mencurigakan, Mas Fahmi memperlakukanku dengan baik. Kalau memang dia selingkuh, aku tidak pernah menemukan celah.

***

"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."

"Kamu sudah pulang, Neng?" tanya Mas Fahmi sambil menuangkan air minum ke dalam gelas. Lalu, memberikannya kepadaku.

"Makasih, Mas." Aku duduk. Lalu, meneguknya pelan.

Kulihat rambut Mas Fahmi basah, dilehernya terlihat handuk bertengger, sontak aku bertanya, "Mas, mandi?"

"Iya, gerah. Neng," jawab Mas Fahmi sambil menyugar rambutnya.

Aku beranjak dari duduk, "mau kemana, Neng?" tanyanya.

"Ambil wudhu."

Aku bersikap seperti biasanya, tidak ingin langsung menuduh Mas Fahmi walau suara desah** itu selalu terngiang, tetapi aku akan mengumpulkan bukti yang lebih akurat.

Karena aku juga tidak yakin kalau itu suara desah** Mas Fahmi.

Diam-diam aku selalu mengecek handphonenya Mas Fahmi, tetapi nihil tidak ada yang aneh.

Dari mulai chatnya cuma rekan kerjanya saja, bahkan kontaknya juga sama tidak ada yang mencurigakan.

Aku membuang jauh-jauh pikiran negatifku, berusaha percaya kepada Mas Fahmi, ia tidak mungkin melakukan perselingkuhan di belakangku. Bahkan aku tidak menemukan satupun bukti yang mengarah kepada Mas Fahmi.


Saat pikiranku negatif kepada Mas Fahmi, rasanya tidak ada ketenangan dalam hidupku. Jadi, aku berusaha berhusnudzon saja.


***

Sore ini aku memasak untuk Mas Fahmi sebagai permintaan maafku kepadanya karena aku selalu berfikiran yang bukan-bukan terhadapnya.

Aku membersihkan diri, bersolek secantik mungkin untuk menyambut Mas Fahmi pulang.

Kulirik jam sudah menunjukan pukul 17:20. Harusnya Mas Fahmi sudah pulang, tetapi kenapa belum nyampe juga.

Mungkin macet pikirku. Aku merasa bosan diam terus, semua sudah kukerjakan. Iseng aku membuka laptop yang tergeletak di meja.

Jantungku langsung berdegup kencang saat layar laptop menampilkan perempuan tanpa sehelai benangpun. Aku segera mengembalikannya, tetapi yang lebih mengejutkan banyak situs por** disana.


Air mataku kembali meluruh aku tidak percaya bahwa Mas Fahmi sering melakukan ona**. Ternyata suara itu memang benar-benar suara desah** Mas Fahmi.

Aku segera mengeluarkan baju dari lemari memasukan semua pakaianku kedalam koper.


"Kamu mau kemana, Neng?" Mas Fahmi yang baru datang.

"Aku gak nyangka, Mas. Ternyata kamu selama ini ...." Aku tak mampu meneruskan ucapanku.

Mas Fahmi segera melihat laptopnya. Lalu, menutupnya.

"Kamu, jij** sama Mas, Neng?" Mas Fahri menahan tanganku yang akan melangkah keluar.

"Bukan aku yang jij**, tetapi Mas yang Jiji** sama aku." Aku menepis kasar tangannya.

Aku segera pergi dari hadapannya, air bening terus menetes membasahi pipi, aku menghapusnya dengan kasar, tidak mau para tetangga tahu. Karena pasti akan menimbulkan pertanyaan, aku tidak ingin meladeninya.


Sesampainya di rumah Ibu, aku langsung memeluk wanita setengah baya itu sambil terisak.

"Kamu, kenapa. Neng?" Ibu bertanya sambil menuntunku duduk di sofa yang tersedia.

Aku terus saja menangis, Ibu mengelus punggungku dengan lembut.

Sudah tiga hari aku berada ditempat Ibu, tetapi Mas Fahmi tidak pernah menelponku.

Pagi-pagi sekali Ibu menelpon Mas Fahmi menyuruhnya untuk datang ke rumah. Agar membicarakan masalah kami dengan baik.

"Ibu, paham kamu belum terbiasa sama Fatimah."

"Iya, Bu. Maafkan Fahmi karena---"

"Ibu, sudah tahu. Fatimah sudah menceritakan semuanya pada Ibu, kalau kamu tidak pernah menyentuhnya." Ibu memotong pembicaraan Mas Fahmi.


"Kamu harus belajar mencicipinya, jangan jajan di luar terus."

"Aku tidak separah itu, Bu." Senggahnya.

"Terus kalau gak jajan diluar, kamu masak sendiri-sendiri gitu?"

"I-iya, Bu."

"Kamu, harusnya mencicipi masakan istrimu, hargai ia yang sudah memasak demi kamu."

"Iya, Bu."


Mas Fahmi terlihat salah tingkah, mungkin dia heran karena Ibu menanyakan tentang ia yang tak pernah mencicipi masakanku.

Sebenarnya aku tidak menceritakan masalah Mas Fahmi yang tidak pernah menyentuhku, aku bilang sama Ibu kalau Mas Fahmi tidak menyentuh makananku.

Aku menghampiri Ibu dan Mas Fahmi yang sedang mengobrol, aku menghempaskan bokongku dekat Ibu. Karena sebenarnya dari tadi aku hanya diam di dekat dinding pembatas ruang tamu.

"Kamu, kesini mau jemput Fatimah kan?" tanya Ibu.


"Iya, Bu."

Aku hanya tersenyum, akhirnya Mas Fahmi menjemputku juga, Mas Fahmi melakukan itu karena khilaf, aku percaya bahwa Mas Fahmi bisa berubah.

Setelah berpamitan kepada Ibu, akhirnya kami pulang ke rumah.

"Neng, sekarang. Mas siap!" ucap Mas Fahmi ketika kami duduk di ranjang.

"Neng." panggilnya lagi dengan lembut.

Aku hanya tersenyum melihat tinggal laku Mas Fahmi yang terlihat gugup.

Kami saling pandang, Mas Fahmi tersenyum. Lalu, Mas Fahmi menyentuhku dengan lembut.


Setelah penantian panjang, sentuhan yang selama ini aku rindukan akhirnya tersalurkan juga.

The End.




Sumber pict: Pinterest

Post a Comment for "Kisah Penantian Seorang Istri! Menunggu Sentuhanmu "