Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Pilu, Sahabat dan Kekasihku Penghianat

Cerita Sakit Hati, Kekasihku Selingkuh dengan Sahabatku




"Kamu dengerkan di kantor ini butuh resepsionis, kita lamar yuk? daripada kita jadi oficgirl terus?" usulku pada Raiysa.

"Boleh, tuh. Tapi, kalau kita ngelamarnya berdua pasti kamu yang bakalan keterima deh, kamu kan pinter ngetik-ngetik walau dikit, lah aku mana bisa, kecuali ...." Raisya menggantung ucapannya.

"Kecuali apa?" tanyaku penasaran.

"Kecuali kamu gak ikut ngelamar. Tapi, tenang aja aku gak bakal egois kok, aku gak bakalan maksa kamu untuk---"

"Ya udah deh, kamu aja yang ngelamar, nanti kalau kamu keterima, kamu bisa meromosiin aku juga." Aku memotong ucapan Raisya sambil tersenyum.

Raisya memelukku, "Makasih yah, Aku janji kalau nanti keterima, pasti aku promosiin kamu."

Aku bahagia melihat Raisya---sajabatku bahagia.

Aku menyiapkan segala macam yang diperlukan Raisya untuk interview, dari mulai surat lamaran aku yang bikinin, blejer, sepatu dan segala macamnya. Walau sebagian tabunganku habis tetapi, enggak papalah asal Raisya bisa tampil maksimal saat interview, supaya ia keterima jadi resepsionis.

Karena kalau Raisya keterima aku pasti bakalan seneng banget. Jadi, salah satu di antara kita gak melulu jadi ofickgirl. Bisa lebih berpangkatlah.

"Selamat yah, kamu keterima. Jadi kamu bukan ofickgirl lagi." Mba Juli menghampiri Raisya yang sedang membersihkan rak disebelahku. Aku bergeser sedikit menjauh.

"Thank you Mba." Raisya terlihat girang, mendengar kabar bahagia itu.

Aku juga ikut bahagia mendengar Raisya keterima. Akhirnya gak sia-sia usahaku untuk bantuin Raisya.

----

"Silakan, ini sekarang ruangan kamu." Mba Juli mempersilahkan Raisya yang baru datang tentunya dengan tampilan yang berbeda. Bukan dengan seragam oficgirl.

"Selamat ya, Sa." Aku mengulurkan tangan.

Raisya tidak melirikku sedikitpun, wanita itu malah melenggang begitu saja ke meja yang ditunjukan Mba Juli.

Kenapa sikap Raisya jadi seperti ini? Aneh.

Aku kembali bekerja menyiapkan kopi untuk para karyawan. Lalu, mengantarkannya satu-satu ke meja kerja.

Hari demi hari sikap Raisya berubah, ia seakan tak mengenalku. Padahal saat Raisya jadi oficgirl dia baik, kami saling membantu. Apa karena ia sudah naik pangkat jadi gadis itu tidak mau berteman denganku lagi.

Aku berjalan dengan malas, rasanya sepi banget enggak ada Raisya karena biasanya pulang kerja kami selalu barengan.

Dari kejauhan terlihat dua sejoli mesra banget. Tangannya bergandengan, si cewe sesekali menyender ke bahu si cowo sambil jalan. Bikin iri aja.

Mereka mulai mendekat tetapi, aku serasa kenal sama mereka, atau cuma mirip saja, enggak mungkinkan itu Raisya sama Radit.

Kulangkahkan kaki semakin mendekat dengan mereka dan ternyata ....

"Manda aku bisa jelasin semuanya." Radit melepaskan genggaman tangan Raisya saat aku mulai mendekat. 

"Ternyata, kamu selingkuh di belakangku, tega ya kamu!" Aku menepis tangan Radit yang mau meraih tanganku.

"Manda, dengerin penjelasan aku dulu."

"Apa yang mau kamu jelasin!" Aku menaikan suara menahan amarah dalam dada.

"Udahlah, dia juga udah tahu. Gak perlu kita jelasin lagi, Sayang." Raisya mengapit lengan Radit dengan mesra.

Hatiku merasa sakit, sakit banget. Begitu tega Raisya merebut Radit dariku.

"Sebenernya aku udah gak cinta sama kamu." Pengakuan Radit bagai belati tajam yang menusuk ke ulu hati paling dalam.

"Tuh, dengerkan," ucap Raisya tertawa sinis.

"Aku cinta dan sayang banget sama kamu, Dit. Tapi, kenapa kamu tega giniin aku?" Air mataku lolos begitu saja tanpa di komando.

Aku tidak menyangka kenapa mereka begitu tega, padahal apapun aku lakukan demi pacar dan sahabatku Itu.

"Kamu tega ya, Sa. Inikah balasan kebaikan yang aku berikan padamu?" Aku menatap Raisya dengan sengit.

"Ya udahlah yah, kitakan sahabat, jadi kamu relain aja Radit buat aku. Ijinkan kami bahagia, oke." Raisya berucap begitu entengnya, seakan tidak peduli dengan perasaanku.

"Enggak, aku enggak akan biarin kalian bahagia. Liat aja nanti!"

"Aku kan sahabatmu, Man. Jadi, apa salahnya kamu berkorban demi kebahagiaan kami." Omongan Raisya seakan mengejekku.

Mereka anggap apa kebaikanku selama ini, sampai mereka begitu tega memperlakukanku seperti ini, kenapa jadi orang baik itu menyakitkan? Gampang banget dimanfaatkan.

"Mulai dari sekarang aku gak mau lagi jadi orang baik!" Aku berteriak sekeras-kerasnya saat aku sudah berada di dekat sungai.

"Kenapa?" Tiba-tiba lelaki yang tak kukenal sudah berada di dekatku.

"Jadi, orang baik itu gak enak, cuma dimanfaatin doang."

"Kata siapa?" tanyanya.

"Buktinya selama ini aku selalu baik sama orang tetapi, mereka malah menghianati aku. Bahkan mereka cuma memanfaatkan kebaikanku saja."

"Berarti niat baikmu salah."

Aku menatap lelaki itu, meminta penjelasan atas apa yang diucapkan.

"Berbuat kebaikan itu jangan mengharapkan balasan, niatkan dari hati. jangan sampai kita berbuat baik ingin dibalas dengan kebaikan dari orang yang kita beri kebaikan." Lelaki itu menatapku penuh arti.

"Yakinlah semua kebaikan yang kau lakukan tidak harus dibalas dengan kebaikan saat itu juga, nanti kau akan menemukan juga." Lelaki itu menjeda perkataannya. "Nah jika niatmu melenceng, maka yang kau dapatkan hanya kekecewaan, paham!" Lelaki itu menekankan kata terakhirnya.

Aku terdiam mencerna setiap kata yang ia ucapkan.

"Belajarlah ikhlas dalam segala hal apapun." Lelaki bermata teduh itu berlalu pergi.

Haelah tuh orang kek jaelangkung aja, datang tak di undang pulang tak diantar.

Apa jangan-jangan tuh orang hantu, aku bergidig ngeri sambil cepat-cepat pergi dari tempat itu.

"Kaka, mau ke mana?" tanyaku saat berpapasan dengan Kak Meta depan rumah kontrakan yang aku tinggali dengan Kak Meta.

"Kaka, mau ke Bank, mau kirimin uang untuk samuel, kasian dia butuh uang sekarang juga."

"Jangan gampang percaya sama orang baru dikenal deh. Kak."

Karena setahuku Samuel itu kenalan dari biro jodoh, bahkan Kak Meta belum pernah ketemu langsung sama orangnya. Kenal juga cuma lewat chat aja.

"Dia pacar Kakak, Manda. Dan samuel juga janji bakal ngebalikin uangnya."

"Emang Kakak, punya uang?"

"Udah, ah. Kakak, buru-buru." Kak Meta berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku segera masuk ke dalam rumah, membersihkan diri. Lalu, merebahkan badan di kasur. Rasanya hari ini lelah banget.

****

Kesel banget lihat Raisya sama Radit bermesraan, mereka sengaja banget bermesraan di depanku supaya aku cemburu. Dasar, lebay!

Aku cepat-cepat berlalu dari hadapan mereka, daripada hatiku semakin terbakar.

Aku pulang ke rumah dengan perasaan ... entahlah, rasanya gak bisa di jabarkan dengan kata-kata. Lelah, marah, kesal bercampur jadi satu.

"Dasar penipu!" Saat sampai di rumah terlihat Kak Meta yang sedang memaki dan melayangkan perabotan satu persatu ke lantai.

"Kakak, kenapa?" Aku menghindari panci yang akan melayang ke kepalaku, kalau saja aku enggak sigap menghindar pastilah panci itu sudah kena kepalaku.

"Kakak, kena tipu. Ternyata Samuel itu penipu. Manda." Kak Meta terisak sambil berhambur ke pelukanku.

"Kok, bisa?"

"Ternyata kamu benar, kita gak boleh gampang percaya sama orang."

Aku menenangkan Kak Meta terlebih dahulu, supaya ia bisa bercerita lebih detail kejadiannya.

"Sebenernya uang yang Kakak pakai itu uang dari ATM kamu."

Mendengar penuturan Kak Meta aku syok banget, uang yang selama ini aku tabung raup begitu saja, padahal uang itu aku tabung buat kebutuhan sehari-hari kalau-kalau nanti aku berhenti bekerja.

Karena Kak Meta tidak kunjung bekerja, maka semua kebutuhan aku yang tanggung. Kalau sekarang tabunganku sudah habis terus darimana aku makan.

"Maafin, Kakak. Manda."

Ingin rasanya aku marah sama Kak Meta tetapi ya gimana lagi.

.

Seperti biasa aku berangkat kerja, walau sebenarnya aku masih syok dengan musibah yang menimpa. Namun, gimana lagi kalau aku enggak kerja darimana aku dapat makan, sekarang saja perutku keroncongan.

"Manda, ini ada nasi rames dan sayur asem kesukaan kamu." Bu Tati menyodorkan kantong kresek saat aku mau berangkat bekerja.

"Gak usah, Bu. Lagian saya gak punya uang." Aku mencoba menolak pemberiannya karena tidak enak hati.

"Ini buat kamu, Manda. Gratis."

"Ibu udah tahu musibah yang menimpa kamu, kamu yang sabar yah. Selagi kamu gak punya uang kamu boleh makan gratis di warung Ibu, "lanjutnya. 

"Tapi, Bu. Aku gak enak."

"Sudah Manda, kamu kan sering bantuin Ibu. Saat dulu anak Ibu sakit, kamu juga yang nganterin. Jadi, ijinkan Ibu membalas kebaikan kamu sekarang."

"Makasih yah, Bu."

Tidak hanya itu ternyata banyak orang yang peduli juga terhadapku, bahkan saat aku sampai ke kantor tempatku bekerja, teman-temanku dan para karyawan mereka memberi sumbangan untukku.

Aku sangat terharu, ternyata benar bahwa berbuat kebaikan itu tidak harus di balas kebaikan hari itu juga.

Post a Comment for "Kisah Pilu, Sahabat dan Kekasihku Penghianat"